"Tibalah seorang tua renta menghampiri mereka," lanjutnya. Kakek itu menghampiri dan menawarkan sejumlah kesepakatan. "Saedah dan Saenih bisa ia ikutkan dengan grup penari ronggeng hingga mereka berhasil, hingga tiba saatnya salah satu mereka dijemput ajal," Yuzar berkisah dalam tulisannya.
Benar saja, tahun-tahun berganti, grup mereka laris manis di pasaran. Tak pelak membuat keduanya menjadi kaya raya. "Saedah dan Saenih memiliki rumah di Sewo dan hanya hidup berdua," kisahnya. Waktu-waktu berlalu, Saenih akhirnya menemui ajalnya.
Berita tentang kesohoran Saedah dan Saenih sampai kepada kedua orang tuanya. Diketahui bahwa Ki Sarkawi dan Maemunah sudah melarat, tak sekaya dulu. Mereka akhirnya berniat untuk mengunjungi kediaman kedua anaknya tersebut.
Yuzar menjelaskan dalam tulisannya bahwa Ki Sarkawi merasa terpukul mendengar kabar kematian anaknya Saenih. "Saedah memberikan koper dan sejumlah uang, pesan yang dititipkan Saenih sebelum ajal menjemputnya," tambah Yuzar.
Baca Juga: Denyut Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah di Desa Pekandangan Indramayu
"Ini adalah uang dan barang untuk mengganti beras yang sudah Saenih gunakan dulu untuk bapak (Ki Sarkawi) dan mimi (Maimunah)," ujaran lirih Saedah dalam kisah yang ditulis oleh Yuzar. Ki Sarkawi menyesali segala perbuatan yang dilakukannya dulu.
Saat perjalanan pulang mekintasi kali Sewo, dalam beberapa penuturan menyebutkan bahwa Ki Sarkawi bersama istrinya tewas tergelincir ke sungai. Sementara penuturan lain mengisahkan bahwa Ki Sarkawi bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya ke sungai. Menurut pengakuan warga, makamnya masih bisa ditemui hingga hari ini.
Kisah tersebut tentunya melegenda bagi masyarakat Indramayu, khususnya yang tinggal di sekitar kali Sewo, Indramayu. Mereka berkeyakinan bahwa Ki Sarkawi dan istrinya masih bersemayam di kali Sewo menjadi penghuni kali tersebut. Maka dari itu, masyarakatnya meminta koin agar para pelintas dapat melalui jembatan Sewo dengan aman.
Mereka juga mengaitkan kutukan tersebut dengan kecelakaan tragis yang terjadi pada 11 Maret 1974. Kecelakaan tersebut melibatkan para transmigran Boyolali dalam perjalanannya ke Sumatra. Busnya terguling ke dasar sungai, menewaskan 67 penumpang dan menyisakan 3 anak yang selamat.
Source | : | Jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR