Jika pernah, Anda pasti juga pernah melihat pesawat-pesawat jet kecil dengan registrasi dari luar negeri. Misalnya saja yang paling banyak berregistrasi “N” dari Amerika Serikat. Timbul pertanyaan, pesawat-pesawat milik siapakah itu? Lalu mengapa pesawat-pesawat itu terparkir lama di apron Bandara Halim? Pertanyaan itu juga menggelitik Angkasa.
Jika melihat kenyataan bahwa pesawat-pesawat tersebut sering terparkir di bandara itu, kemungkinan besar pemiliknya bukan sebuah maskapai. Karena hampir mustahil sebuah maskapai dari luar negeri, terutama berjadwal, menaruh pesawatnya dalam jangka waktu lama di sebuah negara lain. Biayanya akan sangat besar untuk parkir dan perawatan.
Jika demikian, apakah pesawat-pesawat tersebut milik orang-orang pribadi? Bisa saja demikian. Namun apakah pemiliknya pribadi dari dalam negeri atau luar negeri? Walahualam.
Di Indonesia sendiri tidak dikenal adanya pesawat pribadi. Kecuali pesawat untuk olahraga yang berada dalam lingkup Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Yang bisa membeli atau mengoperasikan pesawat beregistrasi Indonesia adalah sebuah perusahaan. Perusahaan tersebut harus mempunyai Surat Ijin Usaha Angkutan Udara (SIUAU) yang di dalamnya menentukan jenis bisnisnya, apakah penerbangan berjadwal, carter, untuk penumpang ataukah kargo. Untuk menerbangkannya, perusahaan harus mempunyai Air Operator Certificate (AOC). Untuk pesawat kecil bertempat duduk hingga 30 kursi, AOC bernomor 135-… (sesuai nomor pendaftaran). Sedangkan yang lebih besar AOC bernomor 121-…(sesuai nomor pendaftaran).
Di luar negeri, seperti di AS, kepemilikan pesawat pribadi diakui dengan adanya aturan chapter 91. Untuk mengoperasikannya, pemilik tidak perlu repot-repot. Karena di sana diakui juga perusahaan yang mengoperasikan pesawat pribadi tersebut, termasuk juga semua kebutuhan sang pemilik manakala hendak terbang.
Perusahaan yang disebut flight support akan menyediakan pilot, pramugari serta teknisi untuk merawat pesawat. Bahkan jika hendak bepergian ke luar negeri, flight support ini juga akan mengurus izin masuk pesawat ke negara tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya keberadaan pesawat pribadi ini juga membuka lapangan kerja. Sayangnya, pesawat pribadi di Indonesia tidak diizinkan. Sehingga keberadaan perusahaan flight support secara resmi juga tidak ada.
Lalu bagaimana dengan orang-orang kaya di Indonesia yang ingin mempunyai pesawat pribadi? Ada dua pilihan. Pertama, membuat perusahaan penerbangan dengan mengurus SIUAU dan AOC. Kedua, membeli pesawat dan mendaftarkan pesawatnya di luar negeri, seperti di AS. Kemudian menyewa flight support di negara tersebut untuk mengurus pesawatnya.
Jika pilihan kedua ini yang diambil, tentu memprihatinkan. Karena dengan demikian devisa yang dimiliki Indonesia terbuang percuma ke luar negeri. Indonesia hanya akan menerima devisa dari parkir pesawat dan layanan navigasi udara. Namun pendapatan lebih besar dari pajak kepemilikan pesawat dan lapangan kerja untuk flight support akan hilang.
Kembali ke pertanyaan awal, milik siapakah pesawat-pesawat beregistrasi luar negeri yang sering terparkir di Bandara Halim? Apakah milik para milyuner Indonesia yang “terpaksa” membeli dan mendaftarkan pesawatnya di luar negeri? Sekali lagi, walahualam.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR