Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML) Kementerian Kesehatan Indonesia, dr. Slamet menyatakan, hepatitis belum dianggap masalah kesehatan masyarakat, melainkan hanya sebagai masalah kesehatan perorangan.
Ini merupakan satu hal yang digarisbawahinya dalam sambutan sebuah acara dalam rangkaian Hari Hepatitis Sedunia – yang diadakan perusahaan farmasi SOHO Global Health, Selasa (15/7) di Jakarta.
Setiap tanggal 28 Juli diperingati sebagai Hari Hepatitis untuk menghormati hari lahir penemu virus hepatitis B sekaligus peraih Nobel, Baruch Samuel Blumberg.
Virus hepatitis yang menyebabkan penyakit menular yang dikenal sebagai Hepatitis A, B, C, D, E, memengaruhi ratusan juta orang seluruh dunia. Pada jenis hepatitis B, C, D, virus ditularkan melalui hubungan seks dan darah/produk darah. Sedangkan jenis hepatitis A dan E adalah kejadian khusus sebab penyebaran virus melalui orofekal (vecal oral).
Saat berkembang menuju akut dan kronis, siroris, hingga berpotensi menjadi kanker hati yang telah membunuh 1,4 juta orang per tahun.
Namun di Indonesia kewaspadaan terhadap hepatitis memang rendah karena banyak kasus tanpa gejala (asimptomatis).
“Rendahnya kewaspadaan karena tidak merasakan ada gejala. Deteksi hanya bisa dilakukan dengan skrining di laboratorium, kebanyakan diketahui terlambat,” papar dr. Irsan Hasan, Konsultan Gastroentrohepatologi dari Divisi Hepatologi-Departemen Ilmu Penyakit Dalam di FKUI/RSCM. Padahal, tambahnya, statistik menunjukkan 1 dari empat pengidap akan meninggal akibat kanker atau gagal hati.
Begitu pula masalah tentang tingkat pemahaman. Masih banyak mitos seputar hepatitis dan cap keliru yang dilekatkan bagi penderitanya. Antara lain pengidap dijauhi, dipisahkan, ditolak bekerja.
Khusus yang terakhir—mengenai larangan bekerja—ia menjelaskan betapa keliru dan merugikan persepsi itu. Banyak perusahaan Indonesia lakukan skrining hepatitis calon karyawan, Irsan mengatakan, masih sulit mengubahnya, harus pembicaraan panjang.
“Kami (pihak dokter) sebetulnya sudah merekomedasikan pemeriksaan Hepatitis B tidak boleh diberlakukan untuk ketentuan penerimaan karyawan, tapi sebatas anjuran,” ungkap Sekjen Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia ini.
“Di Tiongkok dan Taiwan, aturan ini sudah dihapuskan karena melanggar hak asasi,” tambahnya.
Peran terapi herbal?
dr. Irsan mengatakan, pengobatan alternatif herbal banyak digunakan pasien hepatitis—baik berdasarkan rekomendasi dokter maupun inisiatif sendiri. Hal ini umumnya terjadi karena beban biaya alias mahalnya harga obat.
Terapi herbal yang banyak digunakan pasien hepatitis adalah dengan temulawak yang mengandung kurkumin.
“Boleh saja melakukan pengobatan herbal, selama ada uji klinisnya silakan. Yang perlu diingat, walau kurkumin dapat melindungi sel hati (efek proteksi), tapi belum ada penelitian yang menyatakan kurkumin mampu menghilangkan virus.”
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR