Tiga puluh empat tahun lalu, tepatnya 20 Februari 1980, Yatmin muda membulatkan tekad untuk mengadu nasib ke Jakarta. Berbekal ijazah sekolah menengah pertama, warga Desa Selorejo, Kawedanan Gorang Gareng, Magetan, Jawa Timur, yang waktu itu masih berusia 18 tahun tersebut pun menemukan nasib terbaik yang bisa diterima seorang dengan ijazah SMP sepertinya di Jakarta: menjadi pembantu rumah tangga.
Akan tetapi, hanya beberapa bulan Yatmin bertahan menjadi pembantu. Dengan modal seadanya, dia akhirnya memilih berusaha sendiri; menjadi pedagang asongan di jalan-jalan Jakarta. Menjajakan koran di kereta Jabotabek juga dilakoninya.
Jalan hidupnya sedikit berubah saat akhirnya dia diterima bekerja sebagai buruh rendahan di sebuah pabrik di kawasan industri Pulogadung. Dari hasil bekerja di pabrik ini, Yatmin bisa menyisihkan penghasilan untuk melanjutkan sekolah ke sekolah menengah atas. Pagi bekerja di pabrik, malam memahat mimpi lewat bangku sekolah.
Suatu hari pada 1981, setahun setelah Yatmin merantau ke Jakarta, Sekretariat Negara (Setneg) membuka lowongan kerja. Yatmin yang merasa masih punya kesempatan untuk memperbaiki nasib mencoba mengirim lamaran, meski dia sendiri belum tahu pekerjaan seperti apa yang bakal dijalaninya. Mungkin dia juga tidak terlalu mengerti apa itu Setneg.
Satu tahun setelah melamar, tidak ada panggilan apa pun. Yatmin tetap menekuni pekerjaannya sambil terus menyelesaikan sekolah. Ketika dia sudah lupa soal lamarannya ke Setneg, pada 1982 barulah ada panggilan. Setelah melalui serangkaian tes tulis dan wawancara, pada 1983 dia pun diterima bekerja sebagai staf bagian pelayanan di Istana Merdeka, tempat Presiden Republik Indonesia bekerja dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Pekerjaan yang tidak pernah terlintas dalam mimpi-mimpi terindahnya.
Walaupun bidang pekerjaannya—kurang lebih—sama dengan pekerjaan awalnya saat menjejakkan kaki di Jakarta, bekerja di Istana Kepresidenan, melayani kebutuhan sehari-hari presiden di istana, dan merawat gedung istana menguarkan kebanggaan tak terhingga dalam diri Yatmin. Syukuran pun dihelat di kampungnya setelah beberapa bulan bekerja.
Awalnya, keluarganya di kampung tidak percaya Yatmin bekerja di Istana Kepresidenan. Ayahnya bahkan sampai harus meyakinkan dirinya sendiri dengan cara mengecek kabar tersebut ke Jakarta: naik kereta, turun di Gambir, naik bajaj menuju istana, tetapi mesti turun di mulut jalan Veteran karena bajaj dilarang masuk, dan berjalan kaki menuju istana dengan menggandeng si sopir bajaj. Setelah menanyakan ke petugas jaga dan konfirmasi ke Setneg, barulah dia percaya anak lelakinya betul bekerja di kantor presiden. Presiden Republik Indonesia.
Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta yang terletak di Jalan Merdeka Utara berdiri dengan begitu elegan dan anggun di atas areal seluas 6,8 hektare. Sebagai kantor presiden yang berada di pusat ibu kota Negara, kompleks istana ini menjadi pusat sebagian besar kegiatan presiden dan acara-acara kenegaraan. Tidak banyak warga Negara Indonesia—bahkan warga Jakarta—yang menyadari bahwa kompleks Istana Kepresidenan Jakarta terdiri dari dua bangunan istana; Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional (Monas), dan Istana Negara, yang menghadap ke Sungai Ciliwung, di Jalan Veteran.
Istana Merdeka selesai dibangun pada 1879 atas permintaan Gubernur Jenderal Pieter Mijer yang menginginkan rumah tinggal resmi baru bagi gubernur jenderal. Alasannya, Istana Negara (waktu itu dikenal dengan Hotel Gubernur Jenderal) yang dibangun tiga perempat abad sebelumnya dianggap tidak memadai lagi.
Dua istana ini dihubungkan oleh sebuah hamparan padang rumput seluas sekitar satu lapangan sepak bola yang disebut dengan Halaman Tengah. Di Halaman Tengah, di sisi kanan dari Istana Merdeka ada Kupel, sebuah bangunan dengan delapan sisi yang terbuka. Bangunan dengan diameter sekitar lima meter ini dulunya dipakai sebagai tempat mengasuh anak-anak Presiden Soekarno. Kini, pada Kupel tersebut ditempatkan kursi-kursi untuk tempat bersantai.
Ada beberapa bangunan lain di kompleks istana, di antaranya Kantor Presiden, Wisma Negara, Masjid Baiturrahim, dan Museum Istana Kepresidenan yang menyimpan dan memamerkan koleksi lukisan dan benda seni dari berbagai seniman Tanah Air dan dunia.
Elisabeth Bumiller, dalam artikel "Inside the Presidency" yang dimuat di majalah National Geographic pada Januari 2009 menggambarkan Gedung Putih, kantor sekaligus kediaman presiden Amerika Serikat, sebagai hotel bintang lima dengan fasilitas kelas satu. Pada derajat tertentu, Istana Kepresidenan Jakarta juga seperti itu. Penataan halaman dan lingkungan, perawatan gedung dan pernak-perniknya, pengamanan, hingga penyajian jamuan buat kepala negara dan tamu-tamunya, mesti mengikuti standar itu.
!break!Meski Jakarta berada pada hari-hari terpanasnya, rasa teduhlah yang saya rasakan saat berkunjung ke Istana Kepresidenan Jakarta beberapa waktu lalu. Rimbunnya pepohonan besar dan tua, dengan daun rindang dan akar menjuntai, serta rerumputan yang menyerupai permadani berwarna hijau di halaman membuatnya begitu asri.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR