Indonesia sebentar lagi akan memiliki pemimpin baru hingga 5 tahun ke depan. Dari hasil penetapan suara KPU, Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
Saat ini, di tengah dinamika politik yang masih terus berlangsung, tim Jokowi sedang memulai prosesnya untuk menyusun kabinet. Jokowi-JK diharapkan dapat menempatkan orang-orang yang profesional, memiliki kapasitas dan pemahaman di bidangnya, serta integritas tak diragukan dalam mengelola sumber daya hayati. Khususnya di kementerian-kementerian teknis terkait, seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Banyak ilmuwan mengatakan bahwa sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia.
"Oleh karena itu, pemimpin negara perlu memberikan perhatian yang lebih pada isu pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan," ujar Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), MS Sembiring, di kantornya, Jumat (25/7).
"Sebagai pemimpin baru, Jokowi dan JK harus mampu mencegah kerusakan sumber daya alam yang terus berlanjut, lebih mendorong pengelolaan sumber daya hayati yang lestari," tambah MS Sembiring.
Selama ini, isu tersebut belum tampak menjadi dasar berpikir pada pembuatan kebijakan ataupun pengambilan keputusan pemerintah. Hal ini terlihat pada pengelolaan sumber daya hayati yang kurang lestari dan kurangnya elemen isu ini pada rencana pembangunan pemerintah. Padahal keanekaragaman hayati di Indonesia sedang terancam.
Selain itu, dalam konteks penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia, pemimpin yang baru diharapkan mampu menempatkan orang yang tepat untuk mendorong lebih kuat upaya penganekaragaman pangan. Sehingga negara ini tidak tergantung atau terkonsentrasi pada satu komoditas pangan, beras misalnya.
Pada periode mendatang, pemerintahan yang baru juga harus mampu memperluas orientasinya terkait sumber-sumber pangan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia tidak seharusnya terlalu fokus pada sumber pangan di daratan, oleh sebab luasannya yang terbatas.
Pengadaan pangan berbasis lahan juga memberikan efek samping yang cukup serius, karena justru dapat menimbulkan kerusakan ekosistem yang masif. Contoh kerusakan tersebut, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau melepaskan kawasan hutan yang ada menjadi kawasan pertanian. Kawasan hutan yang terdegradasi harusnya direstorasi bukan untuk diarahkan menjadi pertanian baru.
Hutan yang rusak dan tidak dikembalikan akan memberikan dampak lingkungan yang besar seperti banjir atau tanah longsor yang pada akhirnya menggangu kesinambungan pembangunan.
Sementara, orientasi pangan harus diperluas ke arah kelautan. Bentang alam Indonesia menyimpan banyak sekali potensi pangan di laut. Selain jumlahnya yang masih melimpah, harganya pun relatif lebih terjangkau dibandingkan sumber protein yang dikembangkan di daratan.
Ke depan sumber-sumber protein dari laut bisa dikembangkan menjadi sumber kekuatan pangan bangsa Indonesia.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR