Kalimat terkenal ini dilontarkan salah-satu legenda sepakbola Indonesia, Tan Liong Houw alias Latief Harris Tanoto, kelahiran 1930, yang berperan besar mengantar timnas Indonesia ke perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia.
Pernyataan Tan Liong Houw itu, menyikapi persepsi sebagian masyarakat Indonesia saat itu yang dianggap merendahkan warga Tionghoa. "Mereka tidak mau dikatakan tidak nasionalis, seperti anggapan umum saat itu," kata Bayu.
Namun, Harris Tanoto tak berhenti sebatas melontarkan jargon. Dia kemudian terbukti membuktikan ucapannya itu di lapangan hijau.
"Mereka bermain sepenuh hati," kata Sumohadi Marsis, seraya mencontohkan kegigihan Harris Tanoto ketika membela Indonesia melawan Uni Soviet di laga Olimpiade 1956.
"Begitu selesai pertandingan kaos kakinya robek-robek, karena begitu hebatnya menahan gempuran pemain Soviet supaya tidak melewati garis tengah permainan," katanya, mengenang.
Di Olimpiade Melbourne 1956, pemain yang dijuluki "Macan Betawi" ini, bersama rekan-rekannya seperti Ramang, Maulwi Saelan, Kwee Kiat Sek, Thio Him Tjiang, dan Beng Ing Hien, kala itu mampu menahan seri Uni Soviet 0-0, sebelum akhirnya kalah 0-4 dalam laga ulangan.
Kejayaan hingga kemunduran
Seperti bintang sepak bola saat ini yang dielu-elukan penggemarnya, Tan Liong Houw dan kawan-kawan adalah pemain idola masyarakat, kala itu.
"Wah, kalau mereka tampil di Stadion Ikada (kini Monumen Nasional, Jakarta), penontonnya datang dari berbagai lapisan," ungkap Ignatius Sunito, wartawan senior bidang olah raga, yang saat itu masih di bangku SMA dan rajin menonton mereka di Ikada.
Di tahun 1950-an, masih menurut Ignatius, bukan pemandangan "aneh" warga peranakan Tionghoa terlihat di lapangan hijau.
"Mereka membaur betul sebagai bangsa Indonesia, tidak ada perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Cair sekali," kata Ignatius, mantan wartawan olah raga Kompas dan Pemimpin redaksi Tabloid Bola, yang kini berusia 70 tahun.
Kisah kejayaan timnas Indonesia, yang ditandai kehadiran beberapa pemain peranakan Tionghoa, bertahan sampai 10 tahun kemudian, sebelum akhirnya berakhir tragis di Asian Games 1962.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR