Bunyi kerikil saling beradu saat kaki-kaki pengunjung melangkah menuju Meiji Jingu terdengar bagai irama yang menghiasi pagi di kawasan Shibuya, Tokyo. Nyanyian kerikil itu, ditambah suara tonggeret yang bersahut-sahutan dan kaok burung-burung gagak membuat kita tidak sadar bahwa sedang berada di salah satu kota terpadat di dunia.
Meiji Jingu atau Kuil Meiji memang menjadi kontras bagi lingkungan sekitarnya. Hanya beberapa menit jalan kaki dari penyeberangan simpang lima Shibuya yang terkenal karena lautan manusianya, dan berseberangan dengan kawasan Harajuku yang penuh warna, kuil yang dipersembahkan bagi Kaisar Meiji ini memberi kesejukan bagi mereka yang bertirakat ke sana.
Gerbang kayu khas Jepang atau torii menjadi pembatas dunia luar dengan kawasan hening ini. Ribuan pohon dari berbagai jenis di hutan seluas 700.000 meter persegi menahan suara-suara dari luar. Menurut buku panduan kuil, pohon-pohon ini didatangkan dari seluruh Jepang dan negara lain sebagai persembahan bagi kaisar.
Meiji Jingu adalah kuil agama Shinto yang dibangun mulai tahun 1915 untuk mendoakan arwah Kaisar Meiji yang meninggal tahun 1912 dan permaisuri Shoken. Kuil ini menjadi monumen guna mengenang peran kaisar dalam restorasi Meiji yang dianggap menyatukan Jepang dan membawa Jepang ke dunia modern.
Memasuki gerbang, pengunjung akan disambut jalan lebar beralas kerikil dengan naungan pohon-pohon besar di sisi-sisi jalan. Jalanan ini bersih dari daun yang berguguran karena selalu ada petugas yang menyapunya dengan sapu panjang.
Selepas torii kedua, pengunjung akan menemukan puluhan gentong sake berukuran besar yang ditata rapi di tepi jalan kerikil, serta tong-tong anggur dari kayu.
Sake atau nihonshu adalah minuman khas Jepang hasil fermentasi beras. Adapun gentong-gentong sake yang ditata di Meiji merupakan persembahan seluruh pabrik sake di Jepang bagi kaisar. Bagi orang Jepang, sake bukan sekadar minuman beralkohol, namun juga dipakai dalam berbagai upacara adat dan keagamaan.
Lalu di samping pintu masuk kuil, terdapat tempat untuk mencucikan diri sebelum berdoa di kuil. Tempat itu berupa bak dengan air bening yang mengalir melalui bambu. Di sisi-sisi bak tersedia gayung-gayung bambu bergagang panjang. Pengunjung bisa menggunakan gayung itu untuk mengambil air lalu memakainya untuk membersihkan diri.
Menurut Yuda, pemandu wisata asal Indonesia yang sudah lama belajar di Jepang, cara membersihkan diri ini unik. "Pertama ambil air dengan gayungnya. Lalu tuangkan di masing-masing tangan untuk membersihkan tangan. Kemudian ambil sebagian air untuk berkumur, dan sisa air dioleskan di dahi," ujar Yuda.
Namun karena kebiasaan di tanah air, kebanyakan wisatawan Indonesia melakukan kekeliruan di bagian akhir. Bukan sekadar dahi yang dibasahi, namun seluruh muka diguyur air.
Keheningan di pusat kota
Di dalam kuil, banyak warga Jepang memanjatkan doa di depan semacam aula yang beratap kayu-kayu kokoh. Beberapa orang terlihat melemparkan koin ke dalam wadah kayu sebelum berdoa. Selain membungkuk, doa bisanya diawali dan diakhiri dengan tepukan tangan yang lumayan keras.
Walau begitu, tepukan tangan dan suara gemerincing koin tidak mengurangi kekhidmatan ruangan kuil.
Selain itu, pengunjung juga bisa memanjatkan doa dengan menuliskan isi doanya di atas selembar kayu. Lembaran kayu doa berbentuk persegi itu nantinya akan digantung di papan di samping kuil. Untuk mengirim doa melalui tulisan ini, pengunjung bisa melakukannya dengan memberi donasi 500 yen atau sekitar Rp 55 ribu.
Permohonan-permohonan yang dituliskan akan dilebur bersama doa-doa para pendeta kuil setiap pagi. Doa-doa itu dipanjatkan dalam keheningan di tengah kota Tokyo yang hiruk pikuk.
Doa-doa yang dipanjatkan bersama irama kerikil dan desiran angin di pepohonan...
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Dini |
KOMENTAR