Tiga puluh tahun hidup bersama orangutan dan 20 tahun bergaul bersama gorila, dialah Akira Suzuki. Profesor asal Jepang yang berusia 75 tahun itu menghabiskan lebih dari separuh hidupnya bersama dengan primata kerabat terdekat manusia.
"Saya sangat mencintai orangutan kalimantan," ungkapnya.
Ditemui secara khusus oleh Tribunnews.com, Senin (18/8), di sebuah restoran Jepang di Tokyo, Suzuki mengungkapkan pengalamannya hidup bersama orangutan kalimantan di alam liar.
"Apabila saya ke sana—ke hutan di Kutai, Kalimantan, para orangutan tampak keluar semua menghampiri saya. Padahal, menurut orang sekitar, jarang dan mungkin tak pernah orangutan berkelakuan demikian," paparnya.
Suzuki bak ayah bagi orangutan. Dia dekat dan dapat berkomunikasi dengan mereka. Baginya, orangutan adalah makhuk yang cerdas dan sensitif.
Suzuki mengkritik upaya Amerika Serikat membuka Taman Nasional Kutai bagi wisatawan. Ia menilai, orangutan bukan barang tontonan. Upaya tersebut akan meningkatkan interaksi orangutan dengan manusia. Risikonya, orangutan lebih rentan tertular penyakit.
"Biarkan mereka bebas di alam hutannya dan sebaiknya sedikit mungkin tersentuh atau bersosialisasi dengan manusia," ungkapnya.
Suzuki mempelajari orangutan sejak tahun 1983. Sejak lima tahun lalu, ia menandatangani perjanjian dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai penasihat orangutan. Tahun 1993, ia pernah membuat kamp di Taman Nasional Kutai.
Akhir Agustus, kontraknya sebagai penasihat orangutan akan habis. Kemungkinan, kontrak itu tak diperpanjang. Namun, itu takkan memadamkan semangatnya untuk melestarikan orangutan.
"Oleh karena itu, saya mesti mencari jalan lain agar orangutan kutai tersebut dapat terus terlestarikan dengan baik sampai kapan pun," katanya.
!break!Saat ini, menurut data dari pihak luar, tercatat sekitar 60.000 orangutan. Namun, data itu menurut Suzuki tidak benar. "Saat ini tidak lebih dari 10.000 orangutan. Jadi, sudah sangat sedikit sekali jumlahnya.
Bahkan, sayalah yang secara konkret mendata sampai detail semua kelakuan dan kehidupan orangutan berkesinambungan sampai kini," paparnya lagi.
Suzuki pula yang mencatatkan resmi berdasarkan pengamatannya di hutan terus-menerus bahwa orangutan melahirkan anak pada usia 16 tahun.
"Saya ikuti sejak dia lahir sampai melahirkan anak dan kini anaknya telah berusia 4 tahun masih hidup sehat di Kutai sana," paparnya.
Suzuki juga mengatakan, tidak benar pula bila dikatakan orangutan melahirkan anak setiap tujuh tahun. Menurut dia, itu ngawur. Data itu muncul dari publikasi seorang peneliti asal Swiss yang mencuri hasil risetnya.
"Dengan iktikad baik, dalam satu pertemuan para peneliti orangutan, saya meminjamkan data saya. Ternyata, dia menyalahgunakan dan mengubah sedikit-sedikit lalu memublikasikan data penelitiannya sendiri. Itu peneliti dari Swiss," ujarnya.
Banyak sekali yang telah dilakukan Suzuki untuk melestarikan orangutan, termasuk menyelamatkannya dari kebakaran hutan serta dari penggundulan hutan demi tambang.
Kini Suzuki kesulitan untuk mencari dana melestarikan orangutan kalimantan yang menjadi salah satu ikon Indonesia. Bagi yang bersedia membantu profesor ini, mungkin dapat mengirimkan e-mail ke tribunindon@yahoo.com dengan subyek "Orangutan".
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR