Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyesalkan kematian gajah di Aceh yang terjadi pada dua minggu lalu.
Wakil Sekjen MUI KH Natsir Zubaidi menyampaikan hal itu, di sela acara Sosialisasi Fatwa MUI nomor 4 tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Ekosistem di Aula Majelis Perwakilan Ulama Aceh, Senin (8/9).
Menurutnya, ini adalah tindakan yang tidak mencerminkan keciantaan kita kepada satwa langka. Gajah merupakan salah satu satwa liar dilindungi. Oleh karenanya, membunuh satwa ini untuk kepentingan ekonomi adalah haram.
Natsir mensinyalir pembunuhan ini berhubungan erat dengan mafia perdagangan bagian tubuh satwa. “Kami tidak bisa toleran. Kami menghimbau semua pihak untuk turut bertanggung jawab. Karena keberlangsungan kehidupan di Bumi ini ditentukan oleh sejauh mana kita bisa berdampingan dengan alam dan lingkungan kita,” papar Natsir.
Fatwa Haram
Majelis Ulama Indonesia bersinergi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mendukung pelestarian satwa langka untuk pelestarian ekosistem. Sebagai bentuk keperdulian, ulama tidak akan tinggal diam apabila melihat terjadi kerusakan lingkungan termasuk ancaman kepunahan satwa sebagai makhluk Allah.
“Ini adalah fatwa ketiga MUI yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI H Sholahuddin Al Ayubi.
Menurut Al Ayubi, sudah terjadi percepatan laju kepunahan satwa langka di Indonesia. Hal ini dikarenakan berbagai tindakan manusia. Padahal seluruh satwa diciptakan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia, sehingga perlu dijaga keseimbangannya dalam ekosistem.
“MUI berpandangan harus ada upaya nyata untuk memperkecil laju kepunahan. Fatwa ini berisikan tentang upaya penyelamatan satwa satwa langka, termasuk di dalamnya gajah, harimau, badak, orangutan dan satwa langka lainnya yang terancam kepunahan,” tambahnya.
Fatwa ini menyasar perlindungan dan pelestarian satwa langka melalui penyediaan kebutuhan dasarnya, tidak memberikan beban diluar batas kemampuan satwa itu sendiri termasuk hak satwa dalam mendapatkan perlindungan habitat. Selain itu, yang penting adalah mencegah perburuan dan perdagangan ilegal.
“Kami berharap fatwa ini dapat mencegah konflik antara satwa dengan manusia,” katanya.
Al Ayubi menjelaskan, menurut fatwa, satwa langka boleh dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan syariat dan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui prinsip-prinsip menjaga keseimbangan ekosistem, menggunakannya untuk kepentingan ekowisata, pendidikan dan penelitian.
Selain itu, satwa juga dapat digunakan untuk menjaga keamanan lingkungan, serta untuk kebutuhan budidaya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR