Lonceng kapal itu diangkat dari bangkai HMAS Perth pada 1974 oleh tim penyelam Indonesia.
Kapal perang tersebut memiliki berat 6.830 ton dengan panjang 160 meter. Selain memiliki daya jelajah yang luas, kapal ini juga dilengkapi berbagai senjata, dan mampu membawa satu pesawat terbang dengan tipe seaplane.
Adhityatama meneguhkan bahwa besi tua tersebut merupakan HMAS Perth setelah timnya melakukan analisa bentuk dan data sejarah, yang menjelaskan posisi tenggelam kapal perang itu. Namun, dia menolak anggapan bahwa timnya merupakan pihak pertama yang mengidentifikasi bangkai kapal itu.
Soal temuan artefak HMAS Perth, laman Royal Australian Navy pernah mewartakan bahwa pada 1967 rumah kompas, pipa suara kapal perang tersebut dievakuasi oleh tim penyelam. Sementara, laman Australian War Memorial merilis bahwa lonceng kapal itu diangkat dari bangkai HMAS Perth pada 1974 oleh tim penyelam Indonesia. Kemudian, Pemerintah Indonesia menghadiahkan lonceng itu kepada Pemerintah Australia. Repihan peranti HMAS Perth tersebut saat ini dipamerkan di Australian War Memorial, Canberra.
Namun, tampaknya situs bersejarah itu baru populer setelah hobi selam berkembang di Indonesia. “Lokasi kapal karam HMAS Perth sudah diketahui publik dari sekitar akhir tahun 1990-an,” ungkap Adhityatama, “dan telah berhasil diidentifikasi sekitar tahun 2005 oleh para penyelam rekreasional yang senang menyelam di kapal karam.”
“Temuan tidak ada yang kita angkat,” ujarnya. “Semua masih ditempatnya.” Dalam penyelaman awal, tim menemukan sisa-sisa peluru penangkis serangan udara, torpedo, bagian kecil dari krain kapal, dan tiang propeler yang telah kehilangan baling-baling kuningan raksasanya. Selain itu mereka juga menemukan meriam buritan atau stern gun. Seharusnya di bagian belakang kapal ini terdapat dua meriam, namun mereka hanya menemukan satu.
“Hilangnya meriam di bagian belakang ini,” ungkap Adhityatama, “menurut informasi diangkat oleh para penambang besi tua sekitar tahun 2011.”
Dia menjelaskan alasan timnya tidak menjelajahi ruang-ruang kapal pada kesempatan penelitian ini. Selain soal cuaca yang tak bersahabat, besi tua yang rapuh sangat berbahaya bagi penyelaman. “Mungkin tahun depan, namun itu sangat berbahaya.” Dia mengkhawatirkan, “gelembung yang dikeluarkan dari napas para penyelam juga dapat merangsang besi-besi tua untuk runtuh.”
Menurutnya, situs kapal tenggelam HMAS Perth hanyalah satu dari ribuan situs arkeologi yang bersemayam di perarian Indonesia—baik yang sudah maupun yang belum ditemukan. Namun nasib situs-situs kapal tenggelam di Indonesia banyak yang terancam musnah lantaran digerogoti para penambangan besi tua.
Pada 2-3 Oktober 2014, Pusat Arkeologi Nasional akan memaparkan keadaan situs HMAS Perth dan temuan kapal selam Nazi Jerman di Laut Jawa dalam konferensi Australasian Institute for Maritime Archaeology, suatu perkumpulan ahli arkeologi maritim Asia dan Australia. Konferensi yang mengambil tema Navigate: Development and Maritime Heritage itu akan digelar di Darwin.
“Memang peristiwa ini belum lama terjadi, baru sekitar 70 tahun usia dari situs ini,” ungkapnya. Jika Indonesia mendapat kesulitan untuk melestarikan situs ini, demikian hemat Adhityatama, pemerintah dapat bekerja sama dengan Australia sebagai pemilik kapal ini.
“Dimulai dari situs Perang Dunia Kedua yang memiliki umur relatif lebih muda, mari kita selamatkan sisa-sisa dari peristiwa ini dengan baik.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR