Lilin banyak digunakan sebagai alat penerangan kala mati lampu—pengganti listrik. Kadang juga digunakan sebagai pemanis suasana kala sepasang kekasih menikmati makan malam atau saat merayakan hari jadi.
Tanpa kita sadari, lilin merupakan salah satu benda yang cukup sering kita temui dan gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Lilin pun muncul dalam pelbagai bentuk, warna dan ukuran.
Dari manakah lilin berasal?
Konon lilin tertua dibuat di daratan Mesir pada 3000 SM. Jauh berselang, lilin tertua dibuat di Cina pada masa Dinasti Qin (221-206 SM) dan terus menyebar ke penjuru dunia. Bukti lilin digunakan sejak masa Dinasti Qin adalah dengan ditemukannya residu lilin di dalam makam Kaisar Qin Shi Huang (259 – 210 SM). Sejak saat itu Lilin pun menjadi salah satu primadona penerangan sampai saat ini.
Pada masa Dinasti Utara Selatan (386 M – 420M) lilin yang awalnya digunakan sebagai jam waktu di Cina pernah menjadi barang mahal ketika kaisar dinasti utara memberikan lilin sebagai hadiah pada raja suku Toba Mongolia (383 – 535M). Lilin yang sebelumnya merupakan barang murah menjadi barang bernilai jual tinggi pada saat itu. Barangkali kisah ini serupa dengan nasib batu bacang asal Maluku yang pernah dihadiahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Barack Obama beberapa waktu silam.
Pada abad ke-8, tepatnya pada masa Dinasti Tang (618 M – 907 M), lilin mulai digunakan sebagai bagian penting dalam perayaan pernikahan Cina tradisional. Menyalakan lilin merupakan metafora untuk ‘malam pertama bagi seorang gadis’.
Lilin merah berukuran besar merupakan barang wajib yang akan diletakkan di kamar pengantin dan akan dinyalakan pada malam pertama. Lilin merah ini merupakan simbol elemen Yang (maskulin) yang dimaknai sebagai cahaya yang akan menyinari tanaman yang tumbuh dan akan berkembang biak di musim semi.
Pada malam pertama pengantin Cina tradisional, lilin dinyalakan ketika kelambu ranjang pengantin mulai ditutup, pintu kamar pun dirapatkan. Lilin yang terbakar bersamaan merupakan lambang panjang umur.
Jika lilin yang menyala telah habis secara bersamaaan, harapan tertuju kepada pasangan pengantin yang kelak berumur panjang bersamaan. Oleh karena itu semakin panjang lilin yang dinyalakan, harapan agar pengantin berumur panjang pun semakin lama.
Namun, apabila salah satu lilin habis dan mati lebih dahulu, dipercaya salah satu atau kedua pengantin tersebut tidak akan berumur panjang. Terdapat pula kepercaan bahwa lilin yang menyala tidak boleh sampai lumer bececeran karena akan membawa nasib sial dan penderitaan hidup pada keluarga pengantin tersebut. Demikian mitos tradisional Cina yang menyelimuti lilin selama berabad-abad
Menyalakan lilin merupakan metafora untuk ‘malam pertama bagi seorang gadis’.
Lilin juga bermakna sebagai pengusir roh jahat jika diletakkan di depan kamar pengantin. Selain itu lilin juga dinyalakan di samping peti jenasah dengan kepercayaan bahwa cahaya lilin akan menerangi jalan orang yang telah meninggal.
Pada masa kini, lilin bagi masyarakan Cina Indonesia memiliki makna yang beragam. Puluhan lilin pelbagai ukuran yang berjajar rapi di klenteng-klenteng pecinan Nusantara. Lilin merah yang didonasikan oleh si empunya kepada klenteng sebagai derma sejak awal tahun baru Imlek dengan harapan semakin banyak rejeki, panjang umur dan harapan memperoleh kebaikan hidup. Semakin besar ukuran lilin maka akan semakin besar harapan yang dipanjatkan oleh manusia kepada para dewa.
Lilin tak hanya digunakan dalam kegiatan religius saja, tetapi juga digunakan untuk menunjang upacara-upacara adat Cina lainnya.
“Lilin itu berisi harapan orang-orang. Ada yang kepingin panjang umur, ada yang kepingin tambah rejeki, ada yang kepeingin dapat berkah kebajikan. Makin besar lilinnya, makin panjang umur dan seterusnya,” ujar Oey Tjin Eng, salah seorang pengurus Bun Tek Bio, klenteng tertua di Tangerang. “Itu kepercayaan untuk yang percaya, ya. Sembahyang di manapun ya biasanya lilin selalu ada.”
Lalu bagaimana Anda memaknai lilin?
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR