Mok tidak hanya berstatus kampung tua. Tumbuh di punggung bukit, perkampungan itu hingga kini tetap menyisakan satu rumah adat bernama Mbaru Embo yang tidak pernah dihuni manusia. Keluarga suku Nanga sebagai ahli warisnya percaya, Mbaru Embo adalah hunian khusus arwah leluhur. Pasangan Embo Lenang dan Embo Teje diyakini sebagai tetua utama leluhur penghuni rumah adat itu.
Perkampungan Mok sekaligus merupakan pusat Desa Mbengan di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Lokasinya sekitar 30 kilometer arah utara Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur. Berkunjung ke Mok tidak sulit karena sudah terhubung jaringan jalan beraspal meskipun di sejumlah lokasi masih berlubang sehingga memaksa mobil atau sepeda motor yang melintas berjalan pelan.
Sesuai dengan tuntutan adatnya, Mbaru Embo bertengger di ketinggian punggung bukit bagian hulu kampung. Bangunannya berkolong, berbentuk melingkar, dengan satu titik yang merupakan puncak atap. Sebagian besar kerangka bangunan dari bahan bambu dan beratap ijuk. Suasana rumah leluhur itu selalu hening karena tidak berpenghuni dan lokasinya agak menyendiri atau terpisah sekitar 50 meter hingga 200 meter dari jejeran perumahan warga. Bagi mereka yang memiliki kepekaan tajam, berada di sekitarnya langsung merasakan aura magis dari keheningan Mbaru Embo.
”Sejauh ini amat jarang ada warga yang berani mendekati Mbaru Embo itu jika tidak bersama tetua adatnya dari suku Nanga. Areal sekitarnya terasa angker,” kata David Badik (76), tokoh yang juga tetua Mok di kampungnya itu, Kamis (31/7). Rumah keluarga David Badik termasuk paling dekat, berjarak sekitar 50 meter di bagian hilir sebelah selatan Mbaru Embo.
Di Mok dan sekitarnya, David Badik termasuk tetua yang memiliki kepekaan lebih dari normal. Meskipun bukan tetua utama suku Nanga, kakek belasan cucu itu mampu mendengar bunyian atau suara aneh dari Mbaru Embo. Itu biasanya terjadi pada saat-saat tertentu, terutama ketika suasana sedang benar-benar hening. Suaranya berupa bunyian yang seakan dari aktivitas manusia, seperti menampi, membenahi perabot rumah, dan kesibukan lain. ”Tidak jarang pula terdengar suara percakapan manusia dengan nada bergumam,” kata David Badik, yang juga mantan Kepala Desa Mbengan.
Ritual kelas
Akhir Juli lalu bertepatan dengan ritual kelas atau kenduri bagi arwah Bernadus Sawu yang meninggal pada 12 Desember 2012. Almarhum yang lazim dikenal dengan nama alias Sodo Mok adalah tetua utama suku Nanga di Mok, yang belakangan dimandatkan kepada cucunya, Gaspar Djawa (43).
Mengetahui ada tamu berkunjung, apalagi dari turunan kerabat suku Nanga, tetua Gaspar Djawa menyambut Kompas secara adat. Dalam rangkaian adat yang ditandai dengan kepok tuak (pemberian arak), penyambutan diawali pengabaran yang disebut malang, bermakna pemberitahuan terkait meninggalnya Bernadus Sawu.
Sebagaimana lazimnya, kabar duka itu direspons dengan pemberian berupa uang—berapa pun nilainya—sebagai pertanda ikut dalam perkabungan. Selanjutnya, melalui kepok tuak pula, Kompas ikut ambil bagian dalam ritual kelas. Keterlibatan itu juga ditandai dengan pemberian berupa benda atau uang sebelum akhirnya sang tetua Gaspar Djawa bersama sejumlah kerabat dekat, termasuk Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Manggarai Timur Frans Selamat, mengantar Kompas mengunjungi Mbaru Embo, sekitar 200 meter dari rumah duka.
Gaspar Djawa mengatakan, berkunjung ke Mbaru Embo dengan sejumlah pantangan untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan, malapetaka.
Bangunan Mbaru Embo dengan empat tiang utama dari jenis kayu khusus ternyata menyimpan daya tarik lain. Baik perbaikan maupun pembangunan baru tidak bisa ditunda-tunda apa pun alasannya. Keseluruhan pekerjaan harus dirampungkan dalam sehari.
Dewasa ini, tuntutan itu tentu saja menjadi tantangan serius karena ketersediaan ijuk sebagai penutup atapnya kian langka. Lebih langka lagi menemukan jenis kayu khusus yang dibutuhkan untuk empat tiang utamanya. Namun, Gaspar Djawa, Frans Selamat, Stef Abur, Benediktus Tegu, Karolus Ndoa, dan beberapa tetua suku Nanga di Mok tetap berkeyakinan kuat bahwa pembangunan atau perbaikan Mbaru Embo kapan saja bisa diselesaikan dalam sehari sesuai tuntutan adatnya.
”Kelangkaan bahan baku bisa disiasati dengan menyediakannya secara mencicil. Pembangunan dilakukan dengan melibatkan seluruh keluarga besar. Pengalaman sejauh ini umumnya berjalan mulus,” kata Frans Selamat.
!break!
Duplikat
Keberadaan Mbaru Embo di Mok sebenarnya merupakan duplikat rumah adat serupa dengan induknya di kampung asalnya, Nanga Pu’un, kawasan Rajong, kini di Kecamatan Elar Selatan (Manggarai Timur). Lokasi Rajong sekitar 50 kilometer arah utara Mok atau sekitar 80 kilometer dari Borong.
Nanga Pu’un dipastikan sebagai kampung asal suku Nanga di Mok dan sekitarnya. Sayang, kampung induk Nanga Pu’un di Rajong tidak menyisakan Mbaru Embo. ”Rumah adat Mbaru Embo suku Nanga yang tersisa hanya di Mok itu. Di Nanga Pu’un sudah tidak ada lagi,” kata Kornelis Sambi (48), tetua Rajong, di Langgasai, Selasa (5/8/2014).
Catatan menyebutkan, Rajong adalah daerah asal tiga suku berkerabat dekat, yakni Nanga, Mulu, dan Walan. Turunan ketiga suku itu kini menyebar luas di Manggarai Timur.
Konon migrasi sebagian anggota keluarga leluhur suku Nanga dahulu kala hingga akhirnya menetap di Mok terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan di lingkungan keluarga. Seiring perjalanan waktu, ikatan persaudaraan mereka berangsur membaik hingga pulih sepenuhnya setelah berpisah jauh.
Kini, Mbaru Embo sebagai pemersatu suku Nanga hanya tersisa di Mok. ”Keberadaan Mbaru Embo di Mok memang sepantasnya menjadi induk suku Nanga setelah rumah adat awalnya tidak lagi ditemukan di Nanga Pu’un,” kata tetua suku Nanga lainnya di Nanga Meje.
Di balik berbagai keunikannya, Mbaru Embo tentu saja menunggu sentuhan mendalam para pakar, terutama menyangkut berbagai pantangan yang hingga kini tetap tidak tersingkap maknanya. Sebut saja pembangunan atau perbaikan harus rampung dalam sehari, berkunjung tanpa tembakau, tidak berpakaian warna merah, tanpa wewangian, dan pantangan lain. Gaspar Djawa, misalnya, hanya bisa mengatakan berbagai pantangan itu memang bawaan sejak leluhur.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR