Dari puncak bukit, senja telah turun meninggalkan semburat lembayung lembut memanjang di cakrawala barat. Perlahan kemudian, di sisi timur langit, purnama merambat naik dalam cahaya putih kekuningan, berkilauan.
”Turun…! Sudah dataaaang…!” teriakan Ina Nahale (62) terdengar bergaung dari bawah Bukit Namata.
Maksud teriakannya itu menginformasikan bahwa perlengkapan ritual yang dibawa kerabatnya, Bapak Mapenu (47), telah datang. Siang harinya, Mapenu mencari tahi kerbau kering untuk ritual bakar kapur malam itu.
Kami pun segera turun bukit menuju rumah Ina Nahale untuk bergabung dalam ritual yang hanya dilakukan saat malam bulan purnama itu.
Ina adalah sebutan bagi perempuan di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur. Pulau kecil sekitar 460 kilometer persegi ini merupakan bagian dari Kabupaten Sabu Raijua yang terletak di antara Pulau Sumba dan Pulau Timor.
Upacara ritual bakar kapur berlangsung di kampung adat Namata, di Desa Raeloro, tak jauh dari Seba, kota kecil yang paling ramai di Pulau Sabu. Kampung Namata terkenal sebagai lokasi beberapa batu bundar besar peninggalan zaman megalitikum yang kini dikeramatkan.
Hanya beberapa menit saja dari puncak bukit tadi, kami sudah tiba di depan rumah. Di kaki bukit di suatu dataran, sebuah onggokan mirip susunan api unggun telah siap.
Ina Nahale lalu memperkenalkan kerabatnya yang punya hajat ritual malam itu, yakni Ina Nahere (42). Nahere kemudian meletakkan periuk tembikar berisi batu kapur dari laut di atas tumpukan kotoran kerbau kering yang telah bercampur dengan kulit buah lontar kering. Niat dan doa dibisikkan Nahere.
Setelah api disulut, api membakar tumpukan kotoran kerbau kering. Asap putih membubung ke langit menggapai sinar rembulan yang berkilauan. Bukit Namata selimuti sunyi, sesekali ditingkahi suara lidah api yang menjilati kotoran. ”Besok pagi, baru periuk dibuka dan diambil kapurnya,” kata Nahale.
Kapur adalah bagian penting dalam hidup masyarakat Sabu sehari-hari. Selain digunakan untuk menyirih, kapur juga menjadi bahan penting yang ditambahkan saat merendam daun nila untuk mengambil warna biru atau hitam sebagai pewarna kain tenun.
Ritual sederhana tersebut hanyalah bagian kecil dari potret kehidupan masyarakat Sabu sehari-hari yang hingga kini masih setia merawat tradisi leluhur.
Pulau Sabu memang belum lazim menjadi tujuan wisata. Baru sejak maskapai penerbangan Susi Air membuka rute Kupang-Sabu, pulau ini menjadi lebih mudah dijangkau.
Gua berkolam
Di tengah geliat perjuangan memenuhi kebutuhan hidup, orang Sabu tetap menjaga tradisi dan peninggalan leluhur. Tempat-tempat bersejarah tetap dipelihara dengan hormat.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR