Seorang ahli otak dan saraf dari Universitas Oxford, Inggris telah memperingatkan, penggunaan teknologi digital membentuk kembali otak manusia dan dampaknya pada anak-anak muda harus diperhatikan oleh orang tua dan para pendidik mereka.
Susan Greenfield, pakar otak dan syaraf tersebut, mengatakan, teknologi menghubungkan kembali jaringan otak, khususnya pada anak-anak muda yang tumbuh dewasa tanpa mengetahui apa-apa.
Susan hadir dalam kuliah umum di Universitas Australia Selatan, setelah sebelumnya pernah bekerja di Adelaide sebagai salah satu tim ahli Pemerintah Australia Selatan.
"Orang-orang seperti saya, yang lahir setelah Perang Dunia II, dibesarkan dengan TV sebagai barang mewah baru di rumah,” ujarnya.
Ia berkata, “Tentu saja, lamanya hidup yang sudah kita jalani, pengalaman yang kita punya, kerangka konseptual yang kita kembangkan, sikap yang kita miliki, kenangan yang kita miliki, individualitas yang sejauh ini kita kembangkan, semua itu akan mengimbangi pengaruh apa pun yang masuk."
Membangun identitas buatan
Namun ia mengemukakan, hal itu tak bisa diberlakukan pada generasi yang lebih muda.
“Jika Anda masih sangat muda dan belum membangun, katakanlah, identitas yang kuat, maka Anda tak punya kemampuan interpersonal, lalu tentu saja kita akan melihat perubahan yang mungkin tidak terlihat pada generasi yang lebih tua," katanya.
Ahli mengutarakan, anak-anak yang dulu menggunakan imajinasi mereka, kini lebih suka duduk di depan layar, dengan sederet menu yang didesain oleh orang lain.
"Masalahnya, informasi bukanlah pengetahuan. Tentu saja Anda bisa dibombardir dengan informasi yang tak berujung, fakta yang tak ada habisnya, tetapi jika Anda tidak dapat memahami mereka, maka satu fakta terlihat sama seperti fakta lainnya," tutur Susan.
"Anda dapat berselancar di YouTube atau Google, berkomentar \'yuck\' dan \'wow\', tapi anda tidak benar-benar membuatnya nyata," tambahnya.
Ia mengungkapkan, guru atau orang tua yang inspiratif bisa menjadi kunci bagi anak-anak muda untuk mengembangkan kemampuan memahami dunia di sekitar mereka.
Susan mengatakan, media sosial memiliki kegunaan berharga, seperti untuk berkomunikasi dengan keluarga atau teman-teman di seluruh dunia, tapi ada juga masalah yang timbul ketika seseorang memiliki daftar teman yang "mereka sendiri tak benar-benar tahu".
Ia mengungkapkan, teman seperti itu sebenarnya lebih berperan sebagai penonton. "Anda beredar di dunia maya untuk melayani dan mencari dukungan mereka dan bahayanya, kemudian, terletak dalam membangun identitas buatan, yang bukan benar-benar diri Anda, sama sekali," katanya.
"Segala sesuatu yang Anda lakukan ditujukan untuk mendapat dukungan dan untuk mengesankan teman-teman semacam ini, yang pastinya akan kasar dan jahat karena mereka tidak dibatasi oleh pertemuan tatap muka."
Susan mengkhawatirkan, beberapa anak muda kemungkinan tumbuh dewasa dengan perhatian yang singkat, selalu ingin sejalan dengan rekan-rekan sebaya mereka dan kurang memiliki kemampuan untuk membedakan dampak dari tindakan yang mereka lakukan.
"Saya hanya ingin tahu apakah kita akan melihat sebuah generasi yang benar-benar egois, yang kurang perhatian, tak terlalu cakap berkomunikasi, dan malah ingin terus menjadi pusat perhatian dengan rasa identitas yang belum stabil?" sebutnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR