Ketika gempa besar melanda Jepang, kota-kota yang terdampak gempa nyaris hancur dan banyak warga menjadi korban. Infrastruktur kota nyaris lumpuh karena padamnya aliran listrik dan air.
Meski begitu, para pemilik minimarket tetap membuka toko mereka menggunakan senter dan kalkulator sebagai sumber cahaya. Pengalaman ini menyadarkan para warga akan pentingnya toko kelontong atau minimarket sebagai penyangga kehidupan komunitas.
Bencana demi bencana yang kerap melanda Jepang memang tidak membuat bangsa ini lemah. Mereka malah memperlihatkan jati diri sebagai bangsa yang berkarakter kuat. Salah satu hal yang mereka antisipasi saat terjadinya bencana adalah menyediakan pasokan energi, terutama untuk minimarket yang menjual makanan dan minuman.
Panasonic, perusahaan elektronik dan alat rumah tangga asal Jepang, menawarkan solusi energi untuk membuat toko tetap buka meski terjadi bencana yang memutus aliran listrik. Salah satu toko eksperimen yang sudah dibuka ada di Prefektur Okegawa, Tokyo.
Shinya Moriyama, Manager Energy Management Solution Sales Promotion Group Panasonic, ketika menerima rombongan wartawan dari Asia Tenggara di minimarket tersebut, mengatakan, konsep dari minimarket ini adalah manajemen energi sehingga bukan hanya menekan konsumsi energi, melainkan juga memiliki cadangan energi yang bisa dipakai saat terjadi bencana.
Ia menjelaskan, di setiap minimarket atau supermarket, ada tiga komponen yang memakan energi paling besar, yakni kulkas, pendingin ruangan, dan pencahayaan. "Dengan solusi energi yang kami tawarkan, penggunaan energi bisa diturunkan sampai 30 persen,\' katanya di Okegawa, Jepang, Selasa (25/11).
Menurut Shinya, keragaman produk yang dimiliki Panasonic memungkinkan mereka menawarkan solusi energi kepada mitra kerja, mulai dari desain peralatan, konstruksi, sampai operasi harian toko.
Secara sederhana solusi hemat energi, dimaknai sebagai pengapdosian sistem yang hemat air dan listrik, penggunaan solar sel untuk sumber energi, pencahayaan memakai lampu LED, sampai kulkas yang tidak lagi menggunakan CFC sehingga lebih aman untuk ozon.
"Yang paling penting dalam manajemen energi adalah adanya visualisasi, karena itu semua sistem di toko ini bisa dilihat di layar komputer sehingga bisa dikontrol penggunaan energinya tiap jam," katanya.
Sementara itu, untuk cadangan energi, Panasonic menawarkan baterai lithium yang bisa menyimpan energi untuk dipakai beberapa jam saat terjadi bencana. "Energi yang disimpan berasal dari solar panel.
Energy container seperti ini sudah mulai banyak dipakai di rumah-rumah dan juga tempat bisnis di Jepang," katanya.
Di lain pihak, peralatan yang biasa ada di minimarket, seperti proyektor sampai CCTV, juga bisa diprogram untuk menjadi alat marketing. Misalnya saja, kamera CCTV akan memotret wajah para pelanggan dan mengumpulkan data mengenai barang apa saja yang biasa dibelinya. Sementara itu, proyektor bisa dipakai sebagai spotlight dalam tata cahaya ruangan dan juga memberikan informasi produk-produk yang sedang didiskon.
"Proyektor yang ada di sini sama seperti yang biasa dipakai di restoran atau museum. Namun, kita bisa memanfaatkannya untuk menarik perhatian konsumen. Misalnya, memberi informasi potongan harga di lantai toko atau ke dinding," kata Naoya Kamimura, Manager Wide Area Marketing Group Panasonic Eco Solutions Company.
Biaya
Salah satu hambatan yang dihadapi para pengembang bangunan dalam menerapkan konsep ramah lingkungan dalam infrastrukturnya adalah biaya tinggi jika dibandingkan dengan membangun secara konvensional.
"Investasi yang harus dikeluarkan untuk membangun toko hemat energi seperti ini memang 30 persen lebih mahal, tetapi lebih efisien dalam pemakaian energi sehingga menurunkan biaya operasional karena lebih hemat," kata Shinya.
Ia menambahkan, untuk satu bangunan minimarket seluas 200 meter di Jepang, dibutuhkan biaya sekitar 120.000 dollar AS, dengan total solusi energi seluruhnya dari Panasonic. "Dalam tiga tahun investasi akan kembali," ujarnya.
Saat ini toko eksperimen serupa sedang dipersiapkan di Thailand dan Vietnam. Proposal yang sama, menurut Shinya, sebenarnya juga sudah ditawarkan di negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.
"Biaya listrik di negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia jauh lebih tinggi dari Jepang. Jadi sebenarnya solusi hemat energi seperti ini cocok diterapkan di sana," katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR