Hutan hujan tropis, termasuk yang berada di atas lahan gambut, biasanya tidak terbakar. Di kawasan Asia Tenggara, pembakaran yang bertujuan untuk pembukaan hutan terkait dengan deforestasi, terutama hutan lahan gambut, merupakan sumber utama emisi.
Dalam kondisi alami, kebakaran lahan gambut tropis hampir tidak mungkin terjadi. Pembukaan hutan dan kekeringan yang menambah kerentanan hutan, serta pembakaran terencana sering digunakan untuk mengosongkan daerah tersebut.
Lahan gambut adalah sebuah penyimpanan, \'wadah\' karbon dalam jumlah besar, menguncinya di bawah tanah dan mencegahnya dari terlepas ke atmosfer. Jika lahan-lahan gambut ini lenyap, hal itu akan "membuka" jauh lebih banyak karbon serta melepaskannya ke atmosfer.
Apa yang menyebabkan kebakaran pada lahan gambut? Disengaja atau tidak (kebakaran tidak disengaja misalnya oleh sebab petir atau kecerobohan), begitu kebakaran di lahan gambut sudah terjadi, lahan dapat terbakar di luar kendali, khususnya dalam periode tahun kemarau. Api akan menyebar jauh dalam kebakaran seperti itu, dan akan sulit untuk dipadamkan—kadang sampai berbulan-bulan.
Akibat yang timbul dari kebakaran tersebut adalah pelepasan emisi gas rumah kaca yang cepat dan besar-besaran, dan menimbulkan kabut asap yang pekat yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat.
Kajian menunjukkan kebakaran hutan di khatulistiwa memengaruhi kadar gas rumah kaca global. Jumlah rata-rata emisi gas kebakaran dari wilayah ini diperkirakan sebesar 0.12GtC/tahun, yang dapat dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil untuk wilayah tersebut.
Maka yang dapat menjadi solusinya —seperti diserukan sejumlah organisasi konservasi lingkungan— semua lahan gambut harus dilindungi, tidak peduli seberapa dalamnya atau di mana letaknya. Diperlukan kebijakan “Nol Deforestasi” untuk melindungi gambut serta melawan asap.
Sebab Riau adalah daerah Titik Nol untuk kabut asap. Dalam beberapa dasawarsa kehancuran lahan gambut telah membuat kebakaran meningkat. Bahkan Riau menyumbang hanya 5% dari luas wilayah daratan Indonesia, namun 40% dari titik api berada di Riau dan hampir tiga perempat dari titik api tersebut berada di atas lahan gambut.
Riau merupakan provinsi yang memiliki porsi signifikan sektor perkebunan Indonesia, juga masuk provinsi dengan produksi minyak sawit terbesar di Indonesia.
Ekspansi yang sedang berjalan dari perkebunan kelapa sawit menyebabkan emisi karbon serta perusakan lingkungan yang sangat besar.
Pekan lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memberikan isyarat yang menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat di Riau bahwa persoalan asap bisa terselesaikan. Presiden Joko Widodo akhirnya blusukan ke hutan Riau, hari ini, Kamis (27/11), sebagai langkah awal penanganan kebakaran hutan dan lahan gambut.
Riau adalah daerah Titik Nol untuk kabut asap.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan mengatakan, langkah konkret yang bisa segera dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam penyelesaian masalah kebakaran hutan dan lahan gambut Riau yang mengakibatkan bencana asap berlarut selama 17 tahun, adalah memerintahkan pencabutan dan peninjauan ulang izin perusahaan yang terbukti ataupun ditemukan terlibat.
Aparat penegak juga hukum harus segera memproses lebih lanjut bagi perusahaan yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, dan mengembangkan penyidikan ke perusahaan yang sudah dilaporkan masyarakat sipil.
Kata Abetnego, audit kepatuhan yang telah dilakukan oleh UKP4 perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang memberikan efek jera agar bencana ekologis tahunan ini bisa dihentikan untuk seterusnya.
Intinya, perusahaan perkebunan yang masih terus beroperasi dengan kondisi penegakan hukum yang lemah, menjalankan praktik yang tidak bertanggung jawab seperti membuka hutan, mengeringkan lahan gambut yang kaya akan karbon—menjadi penyebab utama terjadinya kabut asap.
(Disarikan dari penelitian analisis oleh Yayasan Perspektif Baru, Walhi, Greenpeace Indonesia)
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR