Sebuah paket tiba di atas meja kerja saya beberapa pekan lalu. Isinya, kiriman buku dari salah seorang sahabat.
Bersampul simpel, ilustrasi taksi warna ungu dengan nama “Violet Dots” terpampang pada plat nomor; buku berjudul Kevin Faldey: Taxi and the City itu tidak segera saya baca karena kesibukan.
Meski demikian, saya cukup tergelitik dengan judulnya yang agak mirip serial drama televisi laris Sex and the City.
Lantas, suatu pagi, tatkala melaju dalam sebuah sedan Burung Biru —karena kebetulan sedang ada penugasan luar kota hingga hari itu saya meninggalkan moda sepeda yang biasanya jadi pilihan saya menuju kantor— saya mengeluarkan buku itu dan membacanya.
Sembari mendengarkan celoteh si supir taksi saya sendiri, saya mulai menikmati kisah seorang pria yang hidup di Jakarta dan bekerja menjadi pengemudi taksi ini. Dan, ya, buku macam ini rasanya paling cocok dibaca saat dalam perjalanan.
Walau bacaan yang ringan, tarik ulur benang kisahnya cukup lumayan. Potret urban dan segala dinamika sosial dituangkan penulis lewat tokoh sentral yang sederhana namun Kevin Faldillah alias Kevin \'Faldey\'.
Jakarta adalah pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat populasi. Semua itu disatukan menjadikan Jakarta sebagai leburan unsur gemerlap, bising, riuh, ada juga drama kesedihan.
Bagi saya, ini menarik. Sebab membuat kita berpikir-pikir lagi, seberapa kita mengenal metropolitan yang kita huni ini.
Pengalaman sehari-hari
Mungkin kurang lebih seperti ini analoginya. Buku ini mengambil bahan-bahan yang bukan sesuatu yang baru, tapi meramunya dengan kekhasan. Personal.
Sang penulis mengajak pembaca mengarungi kota, dan mengantarkan kita pada tempat-tempat yang kebanyakan sudah tak asing lagi, sambil sekaligus memberikan warna dengan bercerita.
Simaklah cukilan berikut ini,
Dan Gelora Bung Karno saat itu telah menjadi lautan suporter berkostum biru dan oranye. Tak hanya kostum. Banyak pula suporter yang merelakan wajahnya dicat sesuai warna tim kesayangannya. Meriah sekali suasana saat itu. Aku turun dari taxi, mengantar Mr. Michael dan pacarnya sampai ke depan pintu masuk arena.
Keluar dari area stadion, ada seorang pria yang menghentikan taxi-ku, ingin diantar ke Hotel Sultan. Saat memasuki area hotel, taxi diperiksa dengan sangat ketat dan detail, mulai bagian mobil hingga bagasi. Mungkin selain alasan standar prosedural, isu kejahatan pemboman masih menghantui keamanan di negeri ini.
Setelah lembar demi lembar hingga akhirnya sampai halaman terakhir buku saya habiskan, makin meyakinkan saya bahwa seluruh pengalaman si supir taksi... inilah refleksi dari persoalan yang memang kita lalui, bahkan akrabi, sehari-hari.
Seorang supir taksi melanglang kerasnya jalan-jalan Jakarta, mengamati-amati para penumpangnya yang notabene warga kota Jakarta.
Jadi, tak ada salahnya kita melihat dari sudut pandang mereka untuk mendapati gambaran lebih utuh atas realita Ibukota, yang terus berdenyut. Dan mereka—para pengemudi taksi itu—yang menyaksikannya, adalah saksi dari balik argometer.
Saya membuktikannya!
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR