"Suara ledakan yang terdengar, seperti suara letusan satu pasukan bersenjata atau suara petir," ungkap Thomas Stamford Raffles. "Beberapa pihak merasa yakin bahwa suara yang terdengar merupakan suara ledakan meriam bajak laut di pantai."
Gunung Tambora memuntahkan angkara murkanya yang mahadahsyat pada malam 5 April 1815 dan berlanjut hingga beberapa hari. Ratusan kilometer kubik batuan cair terempas. Abunya membumbung ke angkasa setinggi lebih dari 25 kilometer. Abu itu membentuk gumpalan awan bak cendawan, kira-kira seluas benua Australia.
Warga di sekitar Gunung Tambora telah binasa pada hari pertama letusan. Bahkan, pada tahun berikutnya, dampak amarah Tambora telah membuat penderitaan orang-orang di Eropa dan sebagian Amerika Serikat karena bencana musim dingin yang tak berkesudahan selama akhir 1815-1816. Sejarah mencatatnya sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas”. Para ahli geologi dunia pun sepakat untuk menahbiskan peristiwa ini sebagai erupsi gunung api terbesar selama 2.000 tahun terakhir!
Bahkan Sang Letnan Gubernur Jenderal itu mengira bahwa gemuruh yang didengarnya ketika di Istana Bogor adalah suara tembakan meriam dari kejauhan.
Gelegar Tambora sampai ke telinga warga Yogyakarta pada malam hari itu juga, terdengar setiap 15 menit sekali. Namun, semua mengira suara itu merupakan dentuman meriam milik musuh yang berderap mendekati kota itu.
Seorang panglima serdadu Inggris yang bertugas di Yogyakarta buru-buru menugaskan anak buahnya untuk segera memukul mundur musuh yang dianggap beranjak menyerang. Sementara, para serdadu lain bersiaga sepanjang pantai melakukan pencarian kapal yang diserang. Namun. Mereka tidak menemukan musuh yang dicari dan pulang dengan tangan hampa.
Pada saat itu Jawa merupakan bagian dari koloni Inggris, setelah Thomas Stamford Raffles menaklukkannya pada 1812. Tak hanya para serdadu yang kebingungan, bahkan Sang Letnan Gubernur Jenderal itu mengira bahwa gemuruh yang didengarnya ketika di Istana Bogor adalah suara tembakan meriam dari kejauhan.
!break!Baru keesokan harinya, Yogyakarta diguyur hujan abu yang menyirnakan segala dugaan tentang asal suara dentuman tersebut. Namun, mereka masih menebak-nebak gunung api mana yang meletus: Merapi, Kelud, atau Bromo. Kejadian salah terka itu dapat dimaklumi lantaran orang-orang Inggris yang menjadi penguasa baru tak memiliki pengalaman dalam hal bencana gunung api. Lalu bagaimana pendapat warga setempat?
Kota Gresik, sebelah barat laut Surabaya, juga didera hujan abu hingga 12 April. Soal bencana abu ini warga Gresik memiliki interpretasi yang unik. Mereka yakin bahwa suara gemuruh dan kelabunya langit lantaran Nyi Loro Kidul, yang berkuasa di pantai selatan Jawa, tengah menyelenggarakan pesta pernikahan salah satu anaknya. Dalam kesempatan itulah meriam-meriam ditembakkan. Warga Gresik memaknai abu yang menjatuhi kotanya sebagai ampas dari amunisi supranatural tersebut.
Kota Banyuwangi, pesisir timur Pulau Jawa, mungkin satu-satunya kota di Jawa yang mengalami kerusakan terparah karena hujan abu Tambora. Sebanyak 126 ekor kuda dan 86 ekor binasa karena kelaparan. Namun, orang-orang Bali yang menghuni kawasan itu mempunyai keyakinan sendiri perihal bencana hujan abu. Mereka menghubungkan peristiwa ini dengan pertikaian antara dua Raja Buleleng, yang berakhir dengan kematian raja yang lebih muda.
!break!Untaian kisah para warga setempat tersebut dicatat oleh Raffles dalam karyanya yang sohor, History of Java, terbit pertama kali di London pada 1817.
Suara itu adalah ledakan supernatural antara skuadron jin dan para leluhur warga yang berada di gunung tatkala menuju nirwana.
Raffles menambahkan, "Setiap orang menghubungkan peristiwa ini dengan meletusnya Gunung Etna dan Vesuvius, seperti yang tergambar dalam puisi-puisi rakyat [Eropa], namun tidak ada keterangan pasti mengenai hubungan peristiwa ini dengan meletusnya Gunung Tomboro."
Sementara Asiatic Journal, yang terbit di London pada Agustus 1816, berkisah tentang gemuruh Tambora yang menggetarkan Kota Bengkulu, pesisir barat Sumatra. Pemuka adat setempat buru-buru menuju Benteng Marlborough, markas kongsi dagang Inggris. Mereka menduga gemuruh itu merupakan suara konflik antarkampung. Sementara pemuka adat lain di Sumatra meyakini suara itu adalah ledakan supernatural antara skuadron jin dan para leluhur warga yang berada di gunung tatkala menuju nirwana.
Kegalauan Raffles tentang teka-teki gemuruh dan abu yang mendera Jawa terobati setelah dia menugaskan Letnan Owen Philips untuk mengobservasi Sumbawa, asal Gunung Tambora. Sang Letnan bertemu Raja Sanggar yang selamat dari amukan Tambora.
"Menurut perhitungan saya," ungkap Owen,"ada sekitar 12.000 orang di Tomboro dan Pekate saat terjadi letusan." Kemudian dia melanjutkan, "Dan hanya 6-7 orang yang selamat."
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR