Ketinting yang kami tumpangi, Selasa (9/12), tiba-tiba menepi. Saat itu kami sedang mengarungi Sungai Bahau di Desa Long Berini, pedalaman Malinau, Kalimantan Utara.
Siang itu, satu ketinting bersama saya adalah pendeta Edy Maryanto dan pengusaha asal Tarakan, Davidson. Begitu Lawai mengutarakan alasannya menepikan ketinting, kami ibarat mendapat aba-aba untuk menjawab serentak, "Boleh, Pak."
"Kita lihat kuburan batu dulu. Barangkali mau foto-foto di sana," ujar Kepala Desa Long Berini Antonius Lawai, yang sekaligus menjadi juru mudi ketinting kami, buka suara. Makam apa ini?
"Byur!" Sepatu saya tercebur air di tepian sungai. Saya turun lebih dulu untuk membantu menambatkan perahu ke tepi sungai yang berpasir.
Tidak terurus
Area pemakaman kuno ini berada di daratan yang berketinggian dua meter di atas permukaan sungai. Sebuah tangga kayu seukuran pijakan kaki, menjadi jalan untuk naik ke kompleks makam.
Begitu kaki menjejaki anak tangga terakhir, area kuburan seluas sekitar 30x30 meter persegi dengan kitaran kawat berduri itu seketika menghampar di depan kami. Gapura kayu berhiaskan ukiran khas Dayak, tegak menyambut para "tamu".
Memasuki areal makam, daun kering terlihat berserakan. Akar pohon yang menonjol pun tertutup serakan daun ini, sesekali menyandung mereka yang tak awas melangkah. Pepohonan tinggi meneduhkan kompleks makam, meski keheningan tak pelak memunculkan pula nuansa seram.
Di dalam kompleks ini, ada lima tumpukan batu yang oleh Lawai disebut sebagai kuburan kuno itu. Tiga makam berjejeran, sementara dua yang lain terpisah sekitar sepuluh meter satu sama lain.
Struktur kelima kuburan ini sama. Ada empat hingga enam batu lonjong tertancap di tanah. Di tengahnya, ada batu berbentuk serupa guci, dengan batu pipih sebagai penutup.
!break!"Dulu katanya jenazah ditaruh di dalam batu ini. Tidak ada yang tahu siapa yang dikubur di sini," ujar Lawai menunjuk batu menyerupai guci. Dia lalu mengintip ke dalam batu melalui celah. "Tapi kayaknya tulang belulangnya sudah tak ada. Enggak tahu ke mana."
Selain tak tahu siapa yang dimakamkan di kuburan itu, Lawai juga tak bisa menyebutkan kapan makam ini mulai ada, atau siapa yang membangunnya. Di lokasi makam juga tak banyak penanda. Lawai hanya bilang, inilah makam Dayak kuno.
Satu papan di depan gerbang makam menandai bahwa kompleks ini sudah jadi obyek wisata. Namun, papan itu lebih pas disebut papan informasi proyek bangunan daripada menjelaskan duduk cerita soal makam itu sendiri.
Di papan kayu hanya tertulis bahwa area itu adalah obyek wisata kuburan batu Katembu, Long Pulung dan Long Berini. Pengembangan obyek wisata itu dimulai pada 2012 dengan nilai proyek Rp189.500.000 yang berasal dari APBD Pemerintah Kabupaten Malinau. Selebihnya, tidak ada.
Situs malinau.go.id menyebut kompleks kuburan batu ini merupakan bagian dari Taman Nasional Kayan Mentarang. Menurut situs yang sama, kelima makam merupakan peninggalan suku Ngorek.
"Mengindikasikan paling tidak sejak kurang lebih 400 tahun lalu masyarakat Dayak sudah menghuni kawasan ini," tulis situs itu. Kelanjutan keterangannya, "Peninggalan arkeologi yang paling padat ini diperkirakan sebagai peninggalan yang paling penting untuk pulau Borneo."
!break!
Cerita yang tersisa
Sedikit mengurangi penasaran kami, Lawai bercerita tentang hikayat dari mulut ke mulut di masyarakat desanya soal makam ini. Dari cerita itu, konon masyarakat Dayak kuno memang punya tradisi pemakaman unik.
Jenazah warga yang meninggal, lanjut Lawai, ditaruh di dalam wadah, bisa berupa guci, tempayan, atau tempat-tempat serupa. Wadah itu lalu diletakkan di tempat yang agak jauh dari desa.
"Tradisi itu kabarnya mulai sejak empat abad lalu. Saya kurang mengerti apa maksud dari tradisi itu," ujar Lawai. Menurut dia, tradisi itu mulai pudar seiring masuknya agama Kristen di wilayah pedalaman Malinau dan Islam di kawasan pesisir.
Hanya 10 menit kami berada di areal kuburan kuno. Selain penuturan Lawai, tak banyak percakapan terjadi selama kami di sana. Usai berfoto secukupnya, kami bergegas meninggalkan lokasi senyap itu.
Sepanjang perjalanan ini, cuaca yang melingkupi kami memang kerap berubah, pun pada siang itu. Ketika ketinting kembali melaju menjauh dari tepian di dekat makam, kabut muncul menghalangi pandangan ke kuburan yang belum lama kami tinggalkan dalam cuaca cerah dan benderang. Bahkan cuaca pun seolah sepakat menegaskan kemisteriusan sang kuburan batu.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR