Dawood Ibrahim merasa bersyukur setelah jam bekernya tidak berfungsi tiga hari lalu atau Selasa (16/12) karena itu berarti dia ketiduran dan terhindar dari pembantaian di sekolahnya di Pakistan. Remaja 15 tahun itu kini menjadi satu-satunya siswa kelas IX yang tersisa di Army Public School (APS), sekolah milik Angkatan Darat Pakistan, di Peshawar, setelah sejumlah teroris membantai semua teman sekelasnya. Kisahnya terungkap setelah sebuah tweet muncul yang menyatakan "Tak ada lagi kelas IX di APS ... hanya Dawood, 15 tahun, satu-satunya yang selamat."
Kakaknya, Sufyan Ibrahim, membenarkan hal itu kepada Express Tribune of Pakistan. Sufyan mengatakan, "Itu merupakan takdir. Tak seorang pun teman sekelasnya selamat. Semua tewas."
Pembantaian oleh Taliban itu menewaskan 132 anak yang tidak bersalah dan sembilan orang guru.
Diyakini bahwa semua teman sekelasnya mungkin dibunuh oleh salah satu pria bersenjata yang meledakkan rompi bunuh dirinya.
Sementara itu, berbagai kisah mengerikan dari anak-anak yang selamat dalam pembantaian itu terus bermunculan, termasuk dari seorang siswa yang terciprat "darah segar dan serpihan daging" tubuh teman-temannya saat orang-orang bersenjata itu melepaskan tembakan ketika mereka berada di sebuah ruangan untuk mempraktikkan pertolongan pertama pada kecelakaan.
Ehsan Elahi (13 tahun) menceritakan bagaimana dia selamat dengan berpura-pura mati setelah ditembak dua kali di lengan saat militan "menyemburkan peluru laksana di neraka" ke dalam kelasnya, yang mengubah ruangan menjadi "kolam darah dan kematian".
Saat berbicara kepada MailOnline dari ranjang rumah sakit, murid kelas VIII itu mengatakan, dia sedang diajarkan pertolongan pertama oleh instruktur militer di aula utama sekolah itu ketika dia mendengar suara tembakan yang semakin mendekat. Dia mengatakan, "Para guru dan instruktur kami meminta kami untuk tetap tenang, tetapi suara tembakan peluru mulai mendekat dan semakin dekat. Pada menit berikutnya, kaca-kaca jendela dan pintu aula diterjang peluru. Sejumlah orang mulai menendang pintu aula."
!break!
Dia mengatakan, situasi itu menciptakan kepanikan di kalangan 100 siswa di aula itu. "Semua orang berusaha untuk menemukan tempat untuk bersembunyi, tetapi tidak ada tempat untuk itu di aula tersebut. Para siswa menangis dan menangis. Hanya ada kursi dan bangku-bangku untuk bersembunyi di aula itu. Saya melompat di belakang bangku dan berbaring di lantai," kata dia.
Dia melanjutkan, para penyerang menyerbu masuk dan mulai "menyemburkan peluru laksana di neraka". "Saya melihat instruktur militer yang pertama kali roboh ke lantai. Tepat di depan saya, saya melihat banyak teman saya terkena peluru di kepala, dada, lengan, dan kaki mereka. Bagian-bagian tubuh mereka dan darah \'terbang\' seperti potongan-potongan kapas kecil di ruang itu. Darah hangat dan serpihan daging teman-teman saya jatuh mengenai wajah saya dan bagian lain tubuh saya. Sangat mengerikan. Mereka terus menembakkan peluru selama setidaknya 10 menit dan kemudian berhenti. Jeda itu maksimal satu menit. Detik berikutnya, mereka mulai menerjangkan peluru lagi terhadap mereka yang menangis karena rasa sakit atau yang masih bergerak. Saya juga terkena dua peluru di lengan kanan. Saya ingin menangis dengan suara kencang, tetapi saya manahan sakit dan tidak menangis karena menangis berarti kematian," tutur Elahi.
!break!Dia menjelaskan bagaimana hidupnya akhirnya diselamatkan oleh tentara Pakistan. Dia berkata, "Mereka (penyerang) tidak ingin membiarkan satu orang pun hidup di aula itu. Setelah sekitar 15 menit, kami mendengar beberapa suara tembakan datang dari luar. Saya pikir tentara telah sampai di sekolah saat itu dan merekalah yang menembakkan peluru tersebut. Hal itu mengalihkan perhatian para penyerang. Mereka berlarian keluar aula. Namun, saya tetap tidak bergerak atau menangis selama 10 menit berikutnya sampai para tentara datang untuk menyelamatkan kami. Aula itu telah beralih jadi kolam darah dan kematian. Darah dan daging manusia serta bagian tubuh berserakan di mana-mana. Saya melihat wajah-wajah tak bernyawa dari banyak teman saya ketika saya meninggalkan aula itu. Wajah mereka masih terbayang di mata saya."
Seorang murid lain menceritakan bagaimana dia menyaksikan guru perempuannya dibakar hidup-hidup karena sang guru dengan berani berdiri di jalur para teroris itu dan mengatakan kepada anak-anaknya untuk melarikan diri. Afsha Ahmed, 24 tahun, menghadapi orang-orang bersenjata itu ketika mereka menyerbu ke dalam kelasnya dan mengatakan kepada mereka, "Kalian hanya bisa membunuh murid-murid saya setelah melewati mayatku."
Kaum militan itu menyirami dirinya dengan bensin dan dibakar, tetapi dia masih mengerahkan kekuatan untuk mengisyaratkan kepada murid-muridnya agar melarikan diri. Salah satu muridnya, Irfan Ullah (15 tahun), menangis saat mengingat keberanian gurunya yang luar biasa itu. Irfan mengatakan, "Dia seorang pahlawan, sangat berani. Dia melompat dan berdiri di antara kami dan para teroris sebelum mereka bisa menyasar kami. Dia memperingatkan mereka, "Kalian hanya bisa membunuh mereka setelah melewati mayatku." Saya ingat kata-kata terakhirnya, dia bilang, "Saya tidak mau melihat murid-muridku berbaring dalam lumuran darah di lantai."
Irfan, yang menderita luka serius di dada dan perut dalam kekacauan itu, mengatakan, dia berharap Ibu Ahmed dapat memaafkannya karena tidak berusaha untuk melindungi gurunya itu dan untuk setiap kesalahan yang pernah dibuatnya di dalam kelas. "Saya merasa begitu egois karena kami melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa kami alih-alih mencoba untuk menyelamatkan guru kami yang mengorbankan hidupnya demi nasib kami yang lebih baik," tambahnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR