Di sebelah kanan, saya melihat bangunan rumah: sangat sederhana, berdinding kayu dan beratap seng.
Seseorang berteriak bahwa ada orang asing datang, dan tiba-tiba sosok yang tinggi dengan berseri-seri berlari keluar dari rumah.
Reuni yang membahagiakan, mengharukan—dan sempat beberapa saat janggal—bagi kami berdua.
Saya melihat bagaimana sosok Mawardah kecil telah berubah, dan betapa kehadiran saya berarti bagi dia dan bagi saudarinya Mutiyah yang tiba dari daerah lain, dua hari kemudian.
Saya merasa bersalah karena tidak berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengontak mereka kembali ketika jaringan asing meninggalkan provinsi itu.
"Tidak ada yang peduli terhadap saya—tidak ada yang mencintai saya seperti orangtua saya," kata Mawardah sambil menangis keesokan harinya.
Tsunami menghancurkan jejak orangtuanya—tidak tersisa foto ibu atau ayahnya. Sedangkan Ita harus menghidupi keluarga, seringkali meninggalkan Mawardah sendirian.
!break!Berlebihan
Tetapi kemudian, tampak jelas bahwa bencana yang menyapu kehidupan Mawardah, juga berdampak positif. Pada usia 21 tahun, dia menjadi sosok perempuan muda yang percaya diri, cerdas dan berambisi.
Dia meraih sejumlah beasiswa dari perusahaan semen lokal (yang dibangun kembali setelah tsunami) dan kuliah jurusan bahasa Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta di Banda Aceh.
Kini berusia 21 tahun, pengalamannya merupakan cerminan keadaan di Aceh dalam satu dekade pascatsunami.
Selama dua hari, kami mengobrol di rumah kecilnya, berkunjung ke sekolah dan makan siang dengan teman-teman dekatnya, saya belajar lebih banyak tentang cobaan dan kompleksitas hidupnya.
Itu membawa saya memahami bahwa pengalaman Mawardah merupakan cerminan keadaan di Aceh dalam satu dekade setelah tsunami.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR