Sulit untuk mengenali Lhok Nga. Pohon-pohon telah tumbuh kembali. Saat dilihat dari jalan, desa kecil itu seperti tersembunyi di balik tirai tebal berwarna hijau.
Ketika kami menghentikan kendaraan di daerah pinggiran, saya berdiri di tepi jalan di atas bukit sembari mencari wajah yang saya kenali, dan memikirkan betapa banyak perubahan yang terjadi.
Sepuluh tahun yang lalu, saya ingat situasinya sangat berbeda.
Beberapa hari setelah tsunami—ketika semuanya rata— dari sini Anda dapat melihat ke segala arah termasuk laut, yang berjarak sekitar dua kilometer di bagian barat dan juga ibu kota Banda Aceh.
Lumpur, puing, serta kesengsaraan ada di mana-mana. Para relawan mulai mencari jenazah, dan ratusan mayat terbaring di jalanan.
Reuni yang mengharukan
Di tenda darurat pengungsi yang didirikan dekat masjid, saya pertama kali bertemu dengan Mawardah Priyanka. Saat itu dia berusia 11 tahun, kelelahan, sangat kotor, dan sendirian.
Kedua orangtuanya meninggal karena gelombang tsunami, yang diperkirakan setinggi 35 meter, menimpa rumah mereka di desa di pesisir Lampuuk. Beberapa hari kemudian dia menemukan kakaknya, Mutiyah, 16 tahun, masih hidup.
Dalam beberapa bulan selanjutnya, saya tetap saling berkabar dengan dua bersaudara tersebut selagi mereka pindah ke tenda pengungsian, lalu ke tenda mereka sendiri, dan kemudian ke rumah baru yang dibangun oleh lembaga amal Oxfam.
Mawardah kembali ke sekolah. Adapun Mutiyah menikah dan pindah. Kakak mereka yang lebih tua, Ita, pindah ke rumah mereka di Lhoknga.
Namun delapan tahun kemudian, saya kehilangan kontak mereka.
!break!Sulit bagi saya untuk menentukan arah ketika saya berjalan di tempat yang dulu sangat berlumpur. Sekarang di tempat itu ada jalan raya, dengan jembatan baru di atas sungai kecil.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR