Hanya beberapa meter dari bibir pantai di Kampung Ulee Lheue, Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh, berdiri rumah-rumah penduduk yang tampak relatif baru.
Berdinding tembok, beratap seng, rumah-rumah itu dibangun setelah gelombang tsunami meratakan sebagian besar rumah di kampung. Ulee Lheue adalah salah satu kawasan yang mengalami kerusakan paling parah saat tsunami menerjang Aceh.
Kapal-kapal ribuan ton hanyut dari pelabuhan dan sebagian menyangkut di desa itu. Kuburan massal terbesar kedua bagi korban tsunami Desember 2004 juga ada di desa. (Baca juga Jejak Keberulangan Tsunami Aceh)
Namun penduduk bersikukuh menempati kembali desa mereka.
"Pertama solusi dari pemerintah tidak jelas, tidak ada. Mana rumah lain, tempat tinggal lain. Pekerjaan lain juga tidak ada. Yang kedua, mereka butuh tempat tinggal dan pekerjaan untuk hidup," kata Kepala Desa Mohamad Yasin.
\'Menanti anak pulang\'
"Kita ini korban, dalam keadaan papa dalam segala lini, mental, harta, famili, saudara. Kita kan tidak punya daya sehingga masyarakat mengambil sikap kembali ke tempat dan membangun kembali," tambah Mohamad Yasin.
Beberapa warga desa membuka usaha kerajinan batu permata di lokasi pasar yang disulap menjadi kios-kios, sebagian lainnya bekerja sebagai buruh bangunan.
Masih di kawasan pesisir sama, dua unit kapal Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai terdampar di depan rumah Saudah. (Baca juga Kisah Usahawan Aceh yang Bangkit Setelah Bencana Satu Dekade Silam)
Seorang ibu beranak delapan, ia kehilangan seorang anak putri dan seorang anak putra. Ia menuturkan keyakinan putra bungsunya, enam tahun saat itu, sekarang masih hidup sehingga suatu hari mungkin akan pulang.
Oleh sebab itulah Saudah tidak mau pindah.
"Kalau kita sudah ajal, mau ke manapun kan sudah tidak ada," ujarnya sambil meneteskan air mata dan suaranya tersendat.
Di tempat ini, Saudah mendiami rumah permanen dari PMI dan juga rumah hunian sementara sumbangan IOM (International Organisation for Migration), sebuah organisasi antarpemerintah.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR