Pakar penerbangan Geoffrey Thomas, berpendapat insiden hilang kontaknya pesawat AirAsia berkode penerbangan QZ8501 sama seperti tragedi jatuhnya pesawat Air France berkode penerbangan AF447 pada 2009.
Menurut Thomas, kemungkinan pilot QZ8501 menerbangkan pesawat dengan kecepatan terlalu rendah ketika bertemu dengan cuaca buruk ekstrem.
"Para pilot berkeyakinan kru (QZ8501) dalam upaya menambah ketinggian untuk menghindari badai, entah bagaimana menyadari mereka terbang terlalu lambat," ujar dia.
"Dengan kecepatan itu, mereka tertarik ke aerodynamic stall, seperti yang terjadi dalam hilangnya Air France AF44 pada 2009," lanjut Thomas, seperti dikutip dari AAP.
Pada 2009, Air France AF44 jatuh ke Samudera Atlantik dalam perjalanan dari Rio de Janeiro, Brasil menuju Paris, Perancis.
Thomas memperkirakan kecepatan AirAsia QZ8501 sekitar 100 knot, setara sekitar 160 kilometer per jam. "Terlalu lambat. Saat itu ketinggiannya juga sangat berbahaya," ujar dia.
Menurut Thomas, Airbus A320-200 yang dipakai penerbangan ini merupakan pesawat canggih. Dengan pemikiran tersebut, dia berpendapat hilang kontaknya pesawat ini semata karena faktor cuaca ekstrem. (Baca juga Analisis Lapan Perkuat Dugaan QZ8501 Gagal Hindari Awan Kumulonimbus)
"Pesawat ini \'tertangkap\' oleh tarikan udara ke atas atau sesuatu semacam itu, sesuatu yang sangat tidak beres," ujar Thomas.
Prinsip situasinya, papar Thomas, pesawat terbang dengan kecepatan terlalu lambat di ketinggiannya saat itu, ketika udara terlalu tipis, sehingga sayap tidak mampu lagi menopangnya. "Dan pesawat stall. Aerodynamic stall." (Baca juga Analisis Awal: Apakah QZ8501 Terlambat Naikkan Ketinggian?)
Meski sudah menyebut A320 sebagai pesawat canggih, Thomas menegatakan radar di pesawat tersebut bukan produk terbaru. Menurut dia, radar yang terpasang di A320 kadang-kadang bermasalah ketika berada di lingkungan berbadai. "Ada kemungkinan pilot tertipu oleh kondisi itu." (Baca juga Airbus Merilis Riwayat Pesawat Air Asia QZ 8501)
Radar terbaru yang dipelopori penggunaannya oleh Qantas pada 2002, sebut Thomas, memiliki kemampuan pembacaan badai yang lebih lengkap dan akurat. Namun, radar baru ini belum tersertifikasi untuk bisa dipakai di A320 sebelum 2015.
"Ketika Anda tak punya alat yang disebut dengan multi-skilled radar itu, Anda harus mencermati data radar itu secara manual. Anda harus melihat ke dalam badai, seberapa intensitas kelembaban dan hujan di dalamnya, lalu Anda membuat keputusan seberapa buruk itu. Manual, bisa jadi ada kesalahan, dan itu yang terjadi."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR