"Itu sebetulnya (letaknya) di utara Laut Jawa, bukan di Selat Karimata, gan. Media kita banyak yang salah tuh."
Saya lantas mencoba memeriksa kembali sejumlah berita yang kami tayangkan. Betul juga, ada sejumlah berita yang menyebutkan Selat Karimata, bukan laut Jawa.
"Gue udah cek beritanya, gak ada koordinatnya. Seharusnya sih Laut Jawa ya."
Begitulah protes kartografer National Geographic Indonesia, Sony Warsono. Sejak pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 dinyatakan hilang kontak dengan menara ATC Indonesia pada Minggu (28/12), Sony (sapaan akrab lulusan Geografi Universitas Indonesia ini) dengan tekun mengumpulkan titik koordinat dari berbagai sumber. Tujuannya, mengumpulkan data dan sekaligus memantau perkembangan pencarian yang dilakukan oleh tim pencari.
Saat ini, dengan begitu pesatnya kemajuan teknologi, mengumpulkan titik koordinat bukanlah perkara yang sulit. Nyaris setiap pegiat dan pemerhati di bidang teknologi informasi dan geografi menyediakan perkembangan informasi tentang tragedi AirAsia QZ8501 dengan melampirkan peta yang disertai titik koordinat. Bahkan, situs flightradar24 menyediakan infromasi kepada publik tentang pergerakan penerbangan sipil secara real time. (Baca juga Kronologi Penemuan Puing AirAsia QZ8501)
Begitu jejak pesawat yang celaka saat menuju Bandara Changi di Singapura itu mulai benderang, Sony segera mencari titik koordinat yang dikeluarkan oleh Badan SAR Nasional. Temuan pertama, berupa serpihan, lalu jasad, dan seterusnya. Saat pertanda itu belum ditemukan, Sony mencoba ikut memprediksi jejak pesawat dengan memantau kabar pencarian yang dilakukan tim pencari yang menggunakan pesawat. (Baca juga Kronologi Hilangnya Pesawat AirAsia QZ8501)
"Kalau dilihat dari berita penemuan puing, letaknya ada di bagian utara Laut Jawa. Bukan Selat Karimata nih." Sony lalu menunjukkan peta GoogleMap yang sudah ia tandai. Katanya, serpihan pertama yang ditemukan oleh tim pencari dari TNI AU itu memang tidak jauh dari titik di mana QZ8501 dinyatakan hilang kontak. Lihatlah grafis yang sudah dibuat oleh perancang desain National Geographic Traveler T. Asyanti Syarif berdasarkan data geografi yang sudah dikumpulkan Sony di berikut ini.
!break!
Protes Sony itu amatlah wajar. Sebab, buat dia menyampaikan informasi yang benar menjadi tugas media massa. Tentu, setelah melakukan pengecekan kembali, kemudian membuat grafis sederhana, yang dapat kami akses bersama.
Begitu pun hari ini, Sabtu (3/1), Sony kembali protes. Dia sempat membaca kabar tim pencari dan evakuasi menemukan objek atau serpihan yang diduga menjadi bagian dari pesawat yang celaka itu berlokasi di Selat Karimata. Dia kembali gusar.
"Udah gue cek nih, belum ada yang nyebut koordinatnya." Ia merujuk pada berita penemuan objek besar yang diduga menjadi bagian dari pesawat dan kapal Baruna Jaya IV BPPT yang mendeteksi objek di bawah laut. (Baca juga Basarnas: Dua Objek Besar Itu Bagian Pesawat AirAsia dan Baruna Jaya Deteksi Benda yang Diduga Bagian dari Pesawat)
Bukalah peta Google Anda. Atau, kalau tidak sedang terhubung dengan Internet, carilah Atlas Indonesia. Sapukan pandangan Anda pada perairan bagian selatan Kalimantan. Dari situ sedikit geser ke arah barat daya. Atau gampangnya, tujukan pandangan Anda ke bagian barat Kalimantan. Tentu, yang Anda lihat adalah wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Nah, provinsi ini memiliki batas alam berupa perairan di bagian baratnya. Perairan inilah yang dinamakan Selat Karimata.
Sony juga menunjukkan Atlas Kelautan dan Atmosfer 2009 produksi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di dalam peta itu, Selat Karimata adalah perairan yang terletak di antara Pulau Belitung dan Kepulauan Karimata, di dekat perairan Provinsi Kalimantan Barat. Selat ini menghubungkan antara Laut Natuna (ke arah utara, di antara Kepulauan Natuna dan Anambas hingga bertemu dengan Laut Cina Selatan) dan Laut Jawa (di bagian selatan). Perairan ini juga menjadi batas alami antara wilayah Sumatra dengan Kalimantan. Pada masa es belum mencair, dua pulau besar kita (Kalimantan dan Sumatra) bersatu dengan daratan Asia.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR