Tim Disaster and Victim Identification (DVI) gabungan bekerja tanpa lelah dalam mengidentifikasi satu per satu jenazah korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 ruter Surabaya-Singapura. Proses identifikasi harus dilakukan dengan cepat karena berkaitan dengan kondisi jenazah yang sudah rusak. Di sisi lain, keluarga menuntut DVI untuk bergerak cepat. Mereka ingin mendapatkan kepastian tentang nasib anggota keluarganya yang hilang.
Semakin hari, kerja DVI terbilang makin sulit. Pasalnya, kondisi jenazah sudah mengalami pembusukan tingkat lanjut. Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Brigjen Arthur Tampi bahkan menyebutkan kondisi korban secara visual sudah tidak bisa lagi dikenali.
Saat ini, tim DVI yang bertugas mengidentifikasi korban AirAsia QZ8501 berjumlah 160 orang. Mereka terdiri dari ahli forensik kepolisian dan guru-guru besar forensik, serta ahli DNA dari berbagai universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Tenaga dari sejumlah negara juga dilibatkan yakni sebanyak 7 orang dari tim DVI Singapura yang memiliki keahlian forensik sidik jari, pathologi, dan DNA.
Lalu, apa saja tahapan yang perlu dilakukan tim DVI dalam menyingkap identitas jenazah korban?
1. Pengumpulan data ante-mortem
Tahap pertama yang dilakukan dalam proses identifikasi adalah mengumpulkan data ante-mortem atau data yang dihimpun sebelum kematian terkait korban. Data ini diserahkan oleh pihak keluarga mulai hari pertama kecelakaan terjadi.
Data yang dikumpulkan seperti medical record, foto rontgen gigi, ciri-cirik fisik yang khas dari korban, foto korban, sisir yang masih tersisa rambut, hingga ijazah atau data apa pun yang memuat sidik jari korban sebelum kematian.
Tim DVI juga mengumpulkan sample DNA dari keluarga segaris yakni orangtua atau anak. Hingga Minggu (4/1), seluruh data-ante mortem dari korban dinyatakan lengkap untuk 162 orang.
2. Penyimpanan Jenazah
Sembari melengkapi data-data ante-mortem, jenazah korban pesawat AirAsia QZ8501 satu per satu tiba di RS Bhayangkara, Surabaya. Hingga Minggu (4/1) malam, ada 34 jenazah yang diterima rumah sakit milik Polri itu.
Saat tiba di RS Bhayangkara, jenazah yang ditempatkan di kantong jenazah langsung dimasukkan ke lemari pendingin. Ada pun, lemari pendingin seukuran peti kemas itu mampu menampung sekitar 200 jenazah.
!break!
3. Re-labelling
Setelah disimpan di lemari pendingin, tim DVI melakukan pemeriksaan awal terhadap fisik korban. Tim melakukan re-labelling dengan memisahkan jenazah berdasarkan jenis kelamin, usia, dan kebangsaan. Hal ini dilakukan agar temuan post-mortem (data setelah kematian) terhadap jenazah korban bisa lebih mudah dicocokkan dengan data ante-mortem.
4. Proses Identifikasi
Setelah re-labelling, tim DVI akan langsung melakukan proses identifikasi. Setiap jenazah ditangani oleh lima orang ahli yang terdiri dari ahli pathologi (organ dalam), ahli sidik jari, ahli odonthologi (gigi), ahli antropologi forensik, dan ahli DNA.
Pemeriksaan dilakukan secara bersamaan terhadap beberapa jenazah yang diletakkan di 15 meja bedah yang ada.
Pada pemeriksaan ini, tim DVI terlebih dulu mencatat data primer seperti sidik jari, struktur gigi, dan DNA. Sidik jari korban memasuki hari ketujuh sudah mulai tak bisa diidentifikasi karena kulit yang mulai rusak dan lepas dari tubuh.
Apabila sidik jari tak bisa diidentifikasi, maka tim DVI beralih menggunakan struktur gigi yang dicocokkan dengan data ante-mortem yang ada. Apabila gigi juga rusak atau pun terlepas, maka tim DVI menantikan hasil tes DNA yang diuji di laboratorium di Jakarta. Waktu analisis tes DNA ini bisa memakan waktu 1-2 minggu.
Sampel DNA diambil dari berbagai bagian tubuh mulai dari darah, cairan liur, pipi, hingga sperma. Namun, DNA yang ada di bagian tulang yang paling banyak dipakai karena bisa bertahan sampai 100 tahun.
Setelah data primer selesai diteliti, tim DVI juga mendata sejumlah data sekunder seperti properti yang menempel di tubuh korban hingga ciri-ciri fisik tertentu yang masih terlihat.
!break!
5. Rekonsiliasi
Setelah proses identifikasi dilakukan, maka dihasilkan data post-mortem (setelah kematian). Data itu kemudian harus dibandingkan dengan data ante-mortem yang telah dikumpulkan dalam sebuah rapat rekonsiliasi. Rapat rekonsiliasi dihadiri para ahli tim ante-mortem dan post-mortem serta dipimpin oleh DVI commander yakni Kepala Tim DVI Jawa Timur Kombes Budiyono.
Apabila dalam rapat itu kedua data dinyatakan cocok dan identik, maka tim DVI kemudian memberitahukan kepada pihak keluarga. Namun, apabila data masih tidak cocok atau masih ada data yang kurang, tim DVI belum akan memberikan informasi kepada pihak keluarga karena dikhawatirkan ada jenazah yang tertukar. Tim akan kembali melakukan identifikasi dan pendalaman hingga hasil akhirnya benar-benar cocok dan identik.
6. Pengembalian jenazah
Setelah jenazah teridentifikasi, tim DVI bertanya kepada pihak keluarga apakah jenazah mau dikafan atau pun dilakukan pemulasaraan (perawatan dan penitipan jenazah). Dengan demikian, pihak keluarga nantinya hanya akan melihat jenazah dalam bentuk yang diinginkan.
Seluruh proses yang dijalani tim DVI ini bisa memakan waktu berbeda-beda. Hingga Minggu malam, tim DVI sudah berhasil mengidentifikasi sembilan jenazah dari total 34 jenazah yang ditemukan. Kesembilan jenazah itu teridentifikasi atas nama Hayati Lutfiah Hamid, Grayson Herbert Linaksita, Kevin Alexander Soetjipto, Khairunnisa Haidar Fauzi, Hendra Gunawan Sawal, Themeiji Tejakusuma, Wismoyo Ari Prambudi, J Stephanie Gunawan, serta Juanita Limantara.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR