Kebijakan pemerintah melarangan penjualan minuman keras di minimarket dinilai kurang efektif. Edukasi tentang alkohol kepada masyarakat dinilai lebih tepat daripada pembatasan peredaran miras.
Menurut Koordinator East Java Action, lembaga non-profit yang bergerak di bidang pencegahan bahaya narkotika, Rudhy Wedhasmara, sejak tahun 2013 hingga saat ini, sudah ada 147 peraturan daerah baru yang melarang dan membatasi penjualan miras beralhokol. "Namun justru tidak menurunkan angka kematian akibat konsumsi oplosan di Indonesia, yang mencapai 18.000 kematian tiap tahunnya," kata dia, Senin (26/1).
Rudhy mencontohkan, di Cirebon sejak 2014 menerapkan aturan larangan penjualan miras beralkohol segala jenis di supermarket dan minimarket, namun berdasarkan data yang dipublikasikan di media massa sejak tahun 2013 - 2014, ada 107 korban meninggal dunia akibat oplosan. Jumlah itu lebih tinggi dibanding sebelumnya pada periode 2011 - 2012 yang mencapai 50 korban jiwa.
"Salah satu solusi untuk menekan jumlah penyalanggunaan alkohol secara berlebihan dan juga peredaran miras oplosan bukan pembatasan, namun dengan edukasi tentang alkohol kepada masyarakat," kata dia.
Edukasi yang dimaksud memberi pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya alkohol pada tingkatan tertentu. "Jika mereka paham tentang kadar alkohol yang diminum dan bahayanya, pasti masyarakat akan lebih bijaksana mengkonsumsi miras," ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel melarang penjualan minuman beralkohol dibawah lima persen dijual di minimarket. Penjualan minuman beralkohol golongan A hanya boleh dilakukan oleh supermarket atau hipermarket.
Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol yang ditandatangani pada 16 Januari 2015 lalu.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR