Siapa sangka, wanita empat anak ini menciptakan batik dengan menggunakan pewarna alam dari berbagai tumbuhan membuat dirinya menjadi pemenang KEHATI Award pada 2009 pada kategori Citra Lestari Kehati.
Walau mendapat penghargaan berkat batik yang ia ciptakan, sebenarnya batik bukanlah pilihan pertama untuk membuka usaha. Awalnya dia mencoba membuat keramik, dan membuat kertas daur ulang. Namun, keberuntungan tidak berpihak padanya.
Kemudian ia mencoba dengan batik dan peruntungannya pun datang. “Saya sendiri tidak punya latar belakang batik sama sekali,” kata Sancaya Rini.
Sadar bahwa batik dapat memberikan peluang, ia pun mencoba belajar membatik pada tahun 2005 di Museum Batik Nasional. Setelah belajar membatik dan mulai mahir, Sancaya melanjutkannya di rumah.
“Waktu membatik di rumah, suami saya marah-marah karena pakai pewarna kimia,” ungkapnya. Berkat larangan sang suami atas penggunaan pewarna sintetis dalam membatik di awal usahanya, Sancaya pun sadar akan pentingnya alam dan lingkungan.
Sejak saat itu, ia pun kembali ke museum batik dan mencari tahu tentang pewarna alam. “Ternyata memang ada pewarna alam, bahkan sejarah batik dulu menggunakan pewarna alam tapi ditinggalkan setelah Belanda datang,” jelasnya.
Sancaya Rini melakukan kegiatan membatik tujuannya untuk menolong sesama. Ia melihat cukup banyak tenaga muda yang potensial namun menganggur di sekitar rumahnya. Dengan begitu ia mulai mendidik anak-anak untuk membatik. Ia percaya bahwa bukan sesuatu yang sulit mendidik anak-anak remaja untuk mencintai dan membuat seni batik. “Yang mau belajar membatik harus punya passion, dan punya jiwa seni. Kalau tidak dia akan cepat bosan,” ujar Sancaya.
Sejak awal Sancaya sadar bahwa untuk berkembang sebagai produk batik yang baik harus punya kekhasan tersendiri. Ia pun fokus pada pewarna batik dengan desain sebisa mungkin menampilkan kombinasi warna. Semakin khas, karena ia mengandalkan pewarna alami yang ada disekitar rumahnya.
Pewarna alam yang biasa digunakan bisa dari daun, kulit buah, kulit kayu, dan kayu. “Kalau dari daun pakai daun ketapang, kulit buah itu kulit rambutan, kecapi, kesemek, manggis, sedangkan kulit kayu pakai kulit kayu mahoni, ansana, dan untuk kayu itu kayu secang dan nangka,” jelasnya.
Keunikan dari batik karya Sancaya adalah warna yang tidak “konsisten”, dalam artian perubahan suhu mengakibatkan hasil berbeda, dan inilah kekuatan batiknya karena warna tidak pernah sama. Sementara pewarna alam yang digunakan menghasilkan warna kuning, hijau, biru, dan sedikit merah.
Selain itu, untuk menjaga agar warna tetap awet, harus dengan cara yang alami pula. Seperti menggunakan lerak, atau sabun yang ph-nya netral, jika menggunakan mesin cuci putaran harus lebut, dan tidak langsung dijemur di bawah terik matahari.
Setelah pemberian penghargaan Kehati Award, ia sibuk memproduksi batik. Uang hadiah pun ia gunakan sebagai modal awal, dan mengikuti pameran di berbagai tempat. “Wah berlipat-lipat manfaatnya, bisa menambah pegawai dari tiga dan nambah tiga lagi,” kenangnya.
Bersama dengan langkah-langkah yang dilakukannya, kehadiran Kehati Award justru bukan menjadi tujuan, melainkan menjadi sebuah awal tanggung jawab dan pemicu untuk berkarya di bidang yang ramah dengan alam dan lingkungan.
Sancaya berharap semakin banyak yang memperhatikan batik, terutama anak muda. “Mereka masih menyepelekan batik, belum bangga jika pakai batik, dan cenderung lebih bangga dengan motif Jepang,” ucapnya.
“Saya harus terus maju, dan menggebrak kalau Indonesia bisa punya batik yang jauh lebih baik lagi,” tutupnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Puri |
KOMENTAR