Jakarta kian rentan dilanda banjir jika tidak ada terobosan baru dalam mengelola kota itu.
Banjir bukan disebabkan cuaca ekstrem, melainkan pembangunan yang dilakukan makin membebani ruang kota, sedangkan mutu infrastrukturnya tidak memadai. Apalagi, penurunan muka tanah terus terjadi.
”Banjir di Jakarta kali ini bukan karena curah hujan tinggi di hulu yang memicu luapan sungai, melainkan kapasitas sistem drainase tak memadai,” kata Jan Sopaheluwakan, President Indonesia International Institute for Urban Resilience and Infrastructure, Kamis (12/2). Ia juga Ketua Komisi Pembangunan dan Lingkungan Hidup Dewan Riset DKI Jakarta.
Meski curah hujan kali ini tinggi, menurut Sopaheluwakan, itu seharusnya tak jadi alasan terjadi banjir. Menurut data BMKG, curah hujan pada 8 Februari lalu 177 milimeter per hari di Kemayoran dan 361 mm per hari di Tanjung Priok.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, di hulu dan tengah tak terjadi hujan ekstrem sehingga debit sungai yang mengalir ke Jakarta aman. Jika ada kenaikan debit, maksimal sampai Siaga III. ”Tak ada sungai melimpas,” ujarnya.
Dibandingkan 2007, hujan saat itu lebih terdistribusi merata, utamanya di daerah selatan, dan durasinya jauh lebih lama sehingga sejumlah sungai meluap.
”Hujan kali ini lebih banyak di utara. Hujan lebat di laut, Kota Jakarta hanya kena pinggiran hujan. Faktor kegagalan kapasitas drainase dominan pada banjir kali ini,” kata Sopaheluwakan.
Infrastruktur tak memadai
Kepala Dinas Tata Air DKI Agus Priyono mengakui, infrastruktur di Jakarta hanya didesain untuk hujan dengan intensitas 250 mm (Kompas, Kamis, 12/2). Kapasitas infrastruktur itu, dinilai Sopaheluwakan, tak memadai karena tidak memperhatikan dinamika cuaca Jakarta.
Data sejarah yang ditulis Restu Gunawan (Gagalnya Banjir Kanal Jakarta, 2010) menyebutkan, pada 1 Januari 1892, kawasan Weltevreden (sekitar Lapangan Banteng) pernah kebanjiran. Ia merujuk koran Siang Po, banjir terjadi setelah turun hujan lebat selama delapan jam. Curah hujan di Jakarta saat itu 286 mm.
Hal itu berarti curah hujan di atas 250 mm lazim terjadi di Jakarta, padahal beban kota itu tak sebesar sekarang. ”Sebagian besar drainase di Jakarta peninggalan Belanda, kapasitasnya tak memadai bagi kondisi Jakarta saat ini,” kata Sopaheluwakan.
Padahal, menurut Sutopo, intensitas pemanfaatan ruang terbangun di Jakarta bagian utara 90 persen, kawasan hijau dan lainnya 10 persen. Akibatnya, 85 persen dari curah hujan jadi aliran permukaan.
”Koefisien aliran permukaan di Jakarta 0,85, kapasitas drainase Jakarta hanya bisa mengalirkan debit jika hujan 50-60 mm per hari. Saat hujan normal kerap timbul genangan, apalagi hujan ekstrem,” katanya.
Selain itu, kata Sopaheluwakan, penurunan tanah Jakarta menyebabkan sistem drainase tak bekerja baik. Di beberapa titik, seperti Pluit, penurunan tanah 24 cm per tahun. ”Air tak mengalir secara gravitasi karena penurunan tanah. Banyak saluran tersier lebih rendah daripada penghubungnya,” ujarnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR