Tato berisi informasi nomor masuk kamp tahanan, terkadang dengan simbol khusus yang ditambahkan. Seperti segitiga untuk orang Yahudi dan Romani memiliki huruf "Z" (dari bahasa Jerman Zigeuner untuk "Gipsi"). Pada bulan Mei 1944, orang-orang Yahudi menerima huruf "A" atau "B" untuk menunjukkan rangkaian angka tertentu. Otoritas kamp Auschwitz memberikan lebih dari 400.000 nomor seri tahanan.
Sebuah rumah lelang Yerusalem menjual satu set pelat tato yang digunakan untuk menato nomor di kamp konsentrasi Auschwitz. Lelang ini diprotes oleh banyak pihak, termasuk Yad Vashem, sebuah organisasi di Israel untuk mengenang korban Holocaust. Yad Vashem juga mempertanyakan keaslian pelat ini.
Rumah lelang Tzolmans menilai barang-barang itu seharga $30.000-$40.000. Hingga Selasa 2 November 2021, tawaran tertinggi berada di $1.810. Lelang akan ditutup pada 9 November 2021.
Tidak disebutkan siapa yang menawarkan pelat tato Auschwitz untuk dijual. Menurut rumah lelang, paket tato tersebut terdiri dari 14 pelat dan buklet instruksi dari produsen Aesculup tentang tato ternak.
Baca Juga: Kenangan Prajurit Soviet Terakhir yang Membebaskan Auschwitz dari Nazi
Yad Vashem tidak membeli benda-benda di lelang karena mereka tidak ingin mendorong “pedagang yang serakah”.
Tapi Meir Tzolman, kepala rumah lelang, berpendapat lain. “Kami ingin meningkatkan kesadaran. Lelang untuk memastikan bahwa barang itu sampai ke tangan yang tepat dan tidak hilang dari halaman sejarah,” tuturnya.
Saat ini sangat jarang untuk menemukan bekas tahanan yang memiliki tato nomor identifikasi di dada. Sebagian besar dari tahanan di hari-hari awal tidak bertahan hingga akhir perang.
“Ini adalah salah satu temuan terpenting dalam beberapa tahun terakhir. Kami tidak percaya bahwa alat asli untuk menato tahanan dapat ditemukan setelah sekian lama. Bahkan tato idenfikasi jarang terlihat sekarang karena tahanan terakhir meninggal,” tegas Dr. Piotr M.A. Cywiński, Direktur Museum Auschwitz.
Source | : | History Daily |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR