Mengerti perlunya tenaga listrik besar untuk pembangunan suatu negara bukan berarti harus setuju dengan pembangunan pembangkit nuklir (PLTN).
Oleh karena itu masyarakatnya harus sadar akan bahaya nuklir dan menjauhkan nuklir, jangan jadikan bagian dari budaya atau politik suatu negara seperti yang telah terjadi di Jepang.
"Saya tahu betapa besar kebutuhan listrik di Indonesia. Tapi penggunaan nuklir bukanlah pilihan satu-satunya untuk membangun suatu negara. Masih banyak pilihan lain," papar Kenzaburo Oe pemenang hadiah Nobel kesusastraan dari Jepang tahun 1994, Selasa (10/3).
Menurutnya, pilihan utama ada di mata masyarakat Indonesia, "Janganlah jadikan budaya atau mengikuti kepentingan politik yang ada. Masyarakat Indonesia sendiri harus memutuskan yang terbaik dan mencari sumber energi alternatif, bukan nuklir karena di dunia saya yakin semua orang sudah menentangnya saat ini, pelan-pelan mulai menjauhkan diri dari nuklir," ungkapnya lagi.
Lihat saja Jerman, tambahnya, yang telah memutuskan untuk menyetop penggunaan nuklir di negara tersebut, tekannya lagi.
"Nuklir telah menyetop penggunaan nuklir dan itu adakah hal terbaik, kita bisa menyelamatkan banyak orang dan benar-benar memanusiakan manusia itu sendiri," paparnya.
Tidak seperti Jepang yang menurutnya tidak mengerti apa yang dilakukan nya. Bahkan mengoperasikan kembali PLTN yang telah diperintahkan di stop di masa lalu.
"Oleh karena itu kita berjuang semua warga di Jepang untuk menyelamatkan negara ini dari kehancuran masa depan. Kecelakaan 11 Maret 2011 di PLTN Fukushima masih terasa penderitaan bagi 200.000 warganya hingga kini dan mereka tak bisa kembali ke kampung halamannya sampai puluhan tahun karena radiasi nuklir menghantam 80.000 pohon di sana. Kalau kecelakaan nuklir terjadi lagi, hancurlah negara ini. Itulah sebabnya kita mesti bergerak semua saat ini menentang nuklir agar dihentikan segera," ungkapnya lebih lanjut.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR