Letusan Tambora pada April 1815 dikenal sebagai letusan gunung api paling mematikan yang tercatat dalam sejarah manusia modern. Kedahsyatan letusan ini sebanding dengan besarnya material vulkanik yang dikeluarkan, terutama dari semburan awan panas yang menimbun wilayah hingga 820 kilometer persegi dengan ketebalan material rata-rata 7 meter hingga 20 meter.
Tak hanya itu, menurut peneliti Gegar Prasetya (2007), material vulkanik Tambora yang mencapai laut memicu tsunami dengan titik tertinggi hingga 27 meter, di Semenanjung Sanggar. Tsunami juga mencapai pesisir utara Sumbawa, Flores, Lombok, Bali, dan Jawa.
Beberapa catatan pemerintah kolonial menyebutkan, jumlah korban tewas akibat meletusnya gunung ini sedikitnya 71.000 jiwa—sebagian ahli menyebut angka 91.000 jiwa. Sebanyak 10.000 orang tewas secara langsung akibat letusan serta sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.
Jumlah ini belum termasuk kematian yang terjadi di negara-negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yang didera bendaca kelaparan akibat aerosol sulfat yang disemburkan Tambora ke langit. Hal itu menyebabkan tahun tanpa musim panas di dua benua itu.
Ahli botani Belanda, Junghuhn, dalam “The Eruption of G Tambora in 1815”, menulis, hingga empat tahun letusan, sejauh mata memandang adalah batu apung. Pelayaran terhambat oleh batuan apung berukuran besar yang memenuhi lautan. Segala yang hidup telah punah. Bumi begitu mengerikan dan kosong. Junghuhn membuat deskripsi itu berdasarkan laporan Disterdijk yang datang ke Tambora pada 16 Agustus 1819 bersama The Dutch Residence of Bima.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR