Saya pergi ke rumah mereka di Mali untuk bertemu dengan keluarga mereka. Saya disambut dengan tangan terbuka, dengan begitu banyak cinta—kebalikan dengan bagaimana cara orang Spanyol menyambut para imigran.
Keluarga mereka menceritakan kisah mereka sehingga saya paham mengapa Isa dan Ibrahim mempertaruhkan nyawa ke Eropa.
Hal utama yang mengejutkan saya ialah kondisi hidup di kampung halaman mereka. Mereka bisa tewas di laut, tapi mereka menghadapi tekanan yang lebih besar saat bertahan hidup di kampung halaman. Mereka melakukannya karena tiada jalan lain, bukan karena mereka mencari petualangan.
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, orang-orang bertolak ke gerbang Eropa seperti halnya yang para budak alami pada abad ke-17.
Sebagian besar tenggelam di laut, terjebak di kapal rapuh yang rawan. Setelah 20 tahun melaporkan berita mengenai imigran yang mencoba ke Eropa, orang-orang masih tenggelam setiap pekan, tiada yang berubah.
Kalaupun ada perubahan, itu adalalah perubahan yang memburuk. Setiap ada tragedi kapal tenggelam, rasanya lebih menyakitkan karena orang-orang kehilangan nyawa mereka.
Di perbatasan Eropa, keberadaan polisi makin banyak. Namun, orang-orang masih tewas.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR