Siang itu, perahu nelayan yang membawa kami baru meluncur 10 menit dari dermaga nelayan di kawasan Pelabuhan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Di kejauhan terlihat sebuah perahu dikelilingi ikan-ikan yang berkecibakan di permukaan laut. Nelayan di perahu itu pun segera menarik jalanya agar dapat menjaring ikan sebanyak-banyaknya.
"Lihat itu, di sana juga ada kelompok ikan!" ujar Sadaruddin alias Tude (42), nelayan yang mengantarkan kami menuju Pulau Kenawa di Selat Alas, Sumbawa Barat, 8 April lalu. Ia menunjuk ke arah lainnya di kejauhan. Di sana juga terlihat kecipak air laut oleh ikan-ikan yang melompat-lompat ke permukaan. Seorang nelayan berusaha mendekatkan perahunya untuk menjaring ikan-ikan tersebut.
Bukan hanya pemandangan itu yang memesona kami. Dalam perjalanan ke Pulau Kenawa, kami juga melintasi gugusan terumbu karang dan ikan aneka warna yang terlihat jelas dari permukaan laut yang bening.
Jarum jam menunjukkan hampir pukul 11.00 Wita ketika kami tiba di Pulau Kenawa. Pintu masuk ke pulau itu ditandai dengan tugu selamat datang yang penuh coretan tangan. Di belakang pintu masuk itu terlihat pondok-pondok dari kayu. Pondok-pondok itu dibangun Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat sebagai respons atas semakin banyaknya turis yang berkunjung ke pulau seluas sekitar 13 hektar tersebut.
”Pondok-pondok ini dibangun tahun 2007,” kata Arif Hasyim, Koordinator Pos Kelautan dan Perikanan Kecamatan Poto Tano, yang menemani kami menuju Pulau Kenawa.
Meskipun pondok-pondok itu membuat wajah pulau amburadul karena tak terawat, ditambah sampah yang berserakan di sekitarnya, kecantikan pulau itu masih terlihat. Begitu memasuki ”pintu gerbang” pulau, terlihat hamparan padang rumput dan ilalang yang hijau kekuningan. Dua bukit, setinggi sekitar 200 meter dan sekitar 50 meter yang menyatu, berdiri tegak di pinggir pulau menghiasi padang sabana yang luasnya hampir separuh luas pulau.
Saat itu mentari begitu teriknya. Di sebuah pondok, tidak jauh dari tepi pantai, sejumlah wisatawan membuat tenda kecil di atas pondok yang lebih menyerupai gazebo tersebut.
”Kami datang berempat dari Jakarta, lalu ada tiga kawan kami ikut dari Masbagik (Lombok Timur). Kami tahu tempat ini dari internet,” kata Danu Susanto (27), yang datang bersama kekasihnya, Ade Erdahwati (24). Tenda itu mereka buat karena pondok panggung tempat mereka berteduh bocor.
Mereka mengatakan, padang sabana, pasir putih, dan gugusan terumbu karang di sekitar pulaulah yang mendorong mereka mengunjungi pulau ini. Dan, memang panorama itu yang menjadi andalan Pulau Kenawa.
Hampir tidak ada pohon di pulau itu, hanya pohon-pohon bakau yang tumbuh di sejumlah tempat di pantai. Dua bukit itu menjadi satu-satunya ornamen alam yang menonjol di tengah sabana yang luas. Dua bukit itu menjadi latar belakang yang eksotis ketika wisatawan berfoto di tengah padang sabana.
Dari tubuh bukit itulah kami bisa menyaksikan dalam jarak pandang yang lebar, betapa biru bersih laut yang mengelilingi Pulau Kenawa. Pulau-pulau lain yang berada dalam satu gugusan dengan Pulau Kenawa pun terlihat.
Pantai pasir putih berkelok-kelok mengikuti kontur pulau membentuk batasan seperti halnya guratan pensil pada kertas yang kanan-kirinya telah diwarnai krayon. Laut yang tenang membuat segenap panorama itu diam seperti lukisan. Sama sekali tidak ada kegaduhan, gerakan berseliweran, atau keruwetan lain.
Tak sampai setengah jam untuk mencapai puncak bukit tertinggi. Hanya saja, wisatawan harus ekstra hati-hati saat menanjaki bukit yang kedua karena lerengnya terjal dan tidak ada alat bantu. Jika tidak berani, sampai di bukit pertama yang setinggi 50 meter sudah cukup untuk memuaskan mata memandangi panorama Pulau Kenawa dan sekitarnya.
Wisata konservasi
Pengelolaan pulau itu sebagai kawasan wisata sebenarnya tidak berdiri sendiri. Arif menuturkan, Pulau Kenawa hanyalah satu dari delapan pulau di Selat Alas yang merupakan satu bagian gugusan pulau. Gugusan pulau itu dinamai Gili Balu, dalam bahasa Lombok berarti delapan pulau. Gili artinya pulau, balu artinya delapan.
Delapan pulau itu ialah Pulau Kalong, Pulau Namo, Pulau Kenawa, Pulau Mandiki, Pulau Paserang, Pulau Kambing, Pulau Belang, dan Pulau Ular. Semua pulau yang tak berpenghuni tersebut termasuk ke dalam kawasan konservasi.
”Tahun 2008, kawasan Gili Balu dicanangkan sebagai daerah konservasi. Orang yang datang berwisata ke pulau-pulau itu tetap diperbolehkan sepanjang tidak melakukan kegiatan yang merusak kelestarian alam,” kata Arif.
Setiap pengunjung diwajibkan melapor terlebih dulu di Pos Kelautan dan Perikanan Kecamatan Poto Tano, di samping rumah dinas Arif, tepat di depan dermaga. Soal transportasi menuju pulau-pulau itu, wisatawan bisa menyewa perahu nelayan atau kapal cepat milik dinas.
”Kapal cepat kami bisa memuat 10 orang. Tarifnya Rp 300.000. Kurang dari 20 menit sudah sampai di Pulau Kenawa. Jarak Pulau Kenawa dari daratan terdekat sekitar 2 mil,” ujar Arif.
Rata-rata setiap minggu ada 6-10 pengunjung atau 50-60 orang per bulan. Wisatawan tidak dipungut biaya. Mereka hanya membayar biaya angkutan kapal cepat (speedboat) dan sewa alat snorkeling untuk menikmati panorama terumbu karang dari dekat. ”Sewa alat untuk snorkeling Rp 20.000, tetapi tanpa dilengkapi sepatu selamnya. Jika wisatawan menginginkan pemandu, bisa juga kami siapkan,” katanya.
Konservasi alam, ujar Arif, menjadi perhatian utama Pemkab Sumbawa Barat. Masih di kawasan Pulau Kenawa, pemkab melakukan transplantasi terumbu karang untuk menjaga ekosistem laut di kawasan Gili Balu. Ada 18 jenis bakau yang dijaga di Gili Balu.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR