Nationalgeographic.co.id—Meski banyak dikabarkan pagebluk COVID-19 memiliki sisi positif dalam dampak lingkungan, seperti polusi udara Jakarta yang sempat berkurang dan polusi suara yang berkurang drastis bagi kehidupan laut, tetapi juga bumi kita semakin tercemar.
Dalam hasil penelitian di Proceedings of the National Academy of Science, ada 25.000 liter sampah plastik yang mencemari samudra di seluruh dunia. Para peneliti menyebutkan faktornya adalah lonjakan permintaan plastik sekali pakai selama pagebluk.
"Ini menimbulkan masalah jangka panjang bagi lingkungan laut," tulis para peneliti yang dipimpin Yiming Peng dari School of Atmospheric Sciences di Nanjing University, Tiongkok.
Peng dan tim memperkirakan jumlah sampah plastik dari berbagai negara, menghitung berapa banyak sampah yang mengalir ke laut dari sungai-sungai besar, dan menggunakan penghitungan model komputer untuk mensimulasi hanyutnya sampah ke lautan global.
Halaman selanjutnya...
Hasilnya, pagebluk telah menghasilkan lebih dari delapan juta ton sampah plastik yang berasal dari rumah sakit dan hasil belanja daring. Benda-benda itu termasuk alat pelindung diri (APD) dan kantung plastik, yang sebagian besarnya mencapai laut dan berakhir di sedimen pantai.
Mereka melaporkan, pada 23 Agustus 2021 ketika kasus meningkat, jumlah limbah medis yang mengandung plastik juga ikut. Diantaranya alat test COVID-19 dan APD seperti masker, sarung tangan, dan pelindung wajah.
Dikutip dari Popular Science para peneliti juga menambahkan penemuannya berupa alat makan sekali pakai seperti garpu dan sendok, yang biasanya digunakan untuk meminimalkan penyebaran COVID-19, terutama saat vaksin belum tersedia.
Pagebluk membuat Peng dan tim menulis fenomena belanja daring dengan "kecepatan yang berlum pernah terjadi sebelumnya". Imbasnya, plastik sebagai kemasan barang menjadi limbah berlebih.
Kondisi ini telah diprediksi sebelumnya oleh João Canning-Clode, peneliti dari Smithsonian Environmental Research Center, Amerika Serikat, bersama timnya, dalam jurnal Frontiers in Marine Science, Agustus 2020.
"Praktek pengelolaan sampah yang tidak tepat dan pembuangan limbah yang buruk dan barang-barang plastik lainnya adalah dua aspek utama dari masalah sampah laut yang berkembang," tulis mereka.
"Membuat skala berita dan laporan media terkini tentang APD yang dibuang lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan upaya bersama mengatasi polusi plastik di laut."
Baca Juga: Pengaruh Sampah Plastik Terhadap Perubahan Suhu Pantai dan Ekosistem
Hingga akhir Agustus 2021, dalam makalah Peng dan tim, diperkirakan 193 negara telah menghasilkan 8,4 juta ton sampah plastik yang berhubungan dengan pagebluk. Rumah sakit menymbang 87,4 persen sampah, dan APD yang digunakan masyarakat umum sebesar 7,6 persen, dan belanja daring beserta alat tas COVID-19 berkontribusi 4,7 dan 0,3 persen.
Sampah terbesar berasal dari Asia yang diperkirakan berjumlah 46 persen, kemudian Eropa dengan 24 persen, dan Amerika--baik utara dan selatan--sebesar 22 persen.
Cara mereka supaya mendapatkan perkiraan sampah plastik yang dihasilkan karena pagebluk, digunakanlah berbagai sumber data seperti statistik kependudukan, produksi masker, infeksi COVID-19, tes, laporan rawat inap, serta laporan keuangan dari e-commerce top seperti Amazon, Walmart.
Baca Juga: Singapura Gunakan Serangga untuk Mengubah Sampah Menjadi Harta Karun
Negara-negara Asia dicatat sebagai yang sering menggunakan belanja daring, terutama untuk membeli masker.
Tetapi 369 sungai besar mengaliri sampah plastik yang diperkirakan mencapai 25.900 ton sampai ke lautan atau mewakili sekitar 1,5 persen dari total sampah plastik yang terbuang dari sungai di seluruh dunia. Mayoritas limbah itu dikirim dari Shatt al Arab, Sungai Indus, Sungai Yangtze, dan Sungai Gangga. Kemudian diikuti Sungai Danube di Eropa.
Lewat model komputer, Peng dan tim juga membuat simulasi kemana sampah itu bergerak di lautan dengan faktor sirkulasi air. Hasilnya, sampah plastik bisa mendarat di pesisir atau dasar laut dalam jangka tiga tahun kemudian. Sayangnya, Samudera Arktik juga menjadi jalan akhir lain sebagian besar limbah plastik.
"Ekosistem Arktik dianggap sangat rentan karena lingkungan yang keras dan sensitivitas tinggi terhadap perubahan iklim, yang membuat potensi dampak ekologis dari paparan akumulasi plastik Arktik yang diproyeksikan menjadi perhatian khusus," para peneliti menyimpulkan.
"Kami menyerukan pengelolaan limbah medis yang lebih baik di episentrum pandemi, terutama di negara berkembang." Khususnya pada rumah sakit, limbah harus dikelola dengan baik agar tidak terbuang ke sungai. Selain itu sungai-sungai yang menjadi tempat utama pengaliran limbah juga harus disorot oleh negara-negara terkait.
Baca Juga: Ilmuwan Berhasil Ciptakan Plastik Bakteri yang Bisa Dikonsumsi
Source | : | Popular Science,Frontiersin.org,PNAS |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR