Kita tahu melalui catatan sejarah, pengamatan saksama dan pengukuran yang akurat di seantero dunia selama sekian dasawarsa, serta dari prinsip-prinsip ilmiah dasar. Juga melalui model komputer, seperti model di atas yang menggambarkan suhu arus laut dari University of Texas yang membantu mengonfirmasi pengamatan dan memperkirakan kemungkinan skenario iklim di masa datang.
19 Mei 1955, 02.30. Pada malam tak berawan, Charles David Keeling, ahli kimia berusia 27 tahun, berdiri di titian dalam hutan di dekat Big Sur, California. Cahaya bintang menembus dedaunan pohon sequoia; Sungai Big Sur bergemercik di bawah kakinya. Ia membuka penutup botol hampa udara berkapasitas lima liter dan membiarkan udara Big Sur yang dingin dan lembap mengalir masuk.
Jika mencari kapan ilmu perubahan iklim lahir, ini adalah salah satu pilihan tepat. Dua minggu kemudian Keeling berada di Taman Nasional Yosemite, mengisi lebih banyak botol. Bulan Juli ia berdiri di tengah salju dengan ketinggian hampir 4.000 meter di Pegunungan Inyo; September, ia ada di pantai Semenanjung Olympic. Ia bersenang-senang, tak terbebani perasaan mengemban misi. Namun, saat kembali ke laboratoriumnya di California Institute of Technology, ia akan mengukur sejumlah kecil karbon dioksida dalam contoh udaranya dengan lebih presisi dan andal. Ia terkejut. Nilainya hampir sama di semua tempat, antara 310 hingga 315 bagian per juta (ppm). Artinya ia cukup mengukur di satu tempat, tahun demi tahun, dan melihat bagaimana perubahan yang terjadi di Bumi.
Itulah yang dilakukan Keeling, sejak tahun 1958 di puncak Mauna Loa yang gundul di Hawaii. Bertahun-tahun ia melakukannya—bahkan setelah ia mulai membuat orang sedikit bosan dan badan-badan yang mendanainya berusaha menghentikan bantuan. Proyek yang awalnya cuma untuk bersenang-senang ini menjadi misi yang penting bagi dunia. Keeling meninggal tahun 2005, namun pengukuran masih terus berlangsung. Tahun lalu level CO2 di udara mencapai 384 ppm. Berdasarkan analisis serupa terhadap udara purba yang terkurung dalam inti es Antartika, ini level CO2 tertinggi selama 800.000 tahun terakhir.
Kurva Keeling membantu membatasi debat berkepanjangan perubahan iklim dengan fakta yang sangat nyata; berkat Keeling, semua orang setuju CO2 meningkat. Fakta lain: suhu Bumi juga meningkat. Suhu rata-rata permukaan Bumi, dikumpulkan dari ribuan lokasi di darat dan laut, meningkat 0,74 derajat Celsius dalam seabad terakhir. Tiga perempat kenaikan itu terjadi pada tiga dasawarsa terakhir; 11 dari 12 tahun terpanas terjadi sejak 1995. “Pemanasan sistem iklim tak diragukan lagi,” simpul Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)—beranggotakan ratusan pakar ilmu bumi terkemuka. Dalam Fourth Assessment Report tahun lalu, mereka menyatakan lebih dari 90 persen yakin, pemanasan kini disebabkan peningkatan gas rumah kaca, terutama CO2.
Manusialah yang bertanggung jawab atas penumpukan gas, terutama melalui pembakaran bahan bakar fosil, memompa lebih dari enam miliar metrik ton CO2 setiap tahun dan terus bertambah. Setengah lebih sedikit saja dari emisi yang dihasilkan manusia sudah cukup menjelaskan kurva kenaikan CO2 Keeling secara sempurna. Sebagian besar sisa CO2 larut ke laut, membuatnya semakin asam.
!break!Beberapa orang skeptis yang vokal terus mendebat bahwa perubahan iklim, jika memang terjadi, memiliki sebab alami. Hanya ada sedikit bukti yang mendukung klaim itu. Aktivitas Matahari dan gunung berapi yang bisa menghangatkan atau mendinginkan Bumi, kurang lebih sama dalam 50 tahun terakhir. Perubahan bentuk orbit Bumi dan kemiringan poros yang diperkirakan memicu siklus periode zaman es dan periode interglasial yang hangat, terjadi dalam kurun beberapa milenium, bukan abad. Saat model iklim komputer yang canggih hanya menyertakan penyebab alami, tak ada yang menghasilkan pemanasan seperti sekarang. Namun saat menyertakan kenaikan CO2, hasilnya cukup akurat.
Selama kurva Keeling naik, suhu meningkat. Tak perlu model komputer abad ke-21 untuk tahu hal itu. Cukup ilmu fisika kuno abad ke-19 yang tak perlu diperdebatkan lagi. Sudah 181 tahun berlalu sejak matematikawan Prancis Jean-Baptiste Joseph Fourier memeragakan, atmosfer Bumi memerangkap panas. Sudah 149 tahun semenjak fisikawan Inggris John Tyndall menunjukkan dalam percobaan laboratorium bahwa karbon dioksida dan uap air paling banyak memerangkap panas. Juga sudah 112 tahun sejak fisikawan Swedia Svante Arrhenius menghitung, seiring meningkatnya jumlah CO2—yang saat itu mulai terjadi—atmosfer yang dihangatkan CO2 juga akan menampung uap air lebih banyak, memperbesar pemanasan. Dalam beberapa tahun terakhir hal ini pun terbukti. Jumlah uap air di atmosfer benar-benar meningkat.
Saat model yang menyimulasikan dengan amat baik iklim sekarang kita simulasikan untuk masa depan, ramalan pertambahan panas hingga akhir abad ini berkisar antara 1,8 hingga empat derajat Celsius. Perdebatan ilmiah ada di sana: seberapa panas dan secepat apa suhu yang akan dicapai? Apa dampaknya? Sebagian ketidakpastian melekat pada iklim yang kacau itu sendiri; yang memuat banyak umpan balik yang semakin menguat. Kita tak pernah mampu meramalnya dengan sangat presisi. Sebagian ketidakpastian lainnya karena kita. Sejak tahun 2000, emisi meningkat lebih cepat dari yang IPCC atau pihak lain pikir mungkin terjadi—sebagian akibat ledakan ekonomi China dan India.
!break!Laporan IPCC, walau kadang dicela secara terbuka oleh pakar iklim yang skeptis, sebetulnya sangat konservatif dan sama sekali tak diniatkan membuat masyarakat khawatir. Namun, kini justru banyak klimatolog yang khawatir. Mereka melihat lonjakan emisi CO2 dan suhu, es yang meleleh cepat di Arktika dan di Greenland, dan mereka tahu ketidakpastian dalam ramalan model bisa berarti baik atau buruk. Banyaknya penelitian baru tentang sejarah Bumi menambah kekhawatiran, kemungkinan besar model komputer meremehkan kedahsyatan perubahan iklim masa depan, alih-alih melebihkannya. Dulu, ternyata iklim berubah lebih dramatis dan lebih cepat daripada yang diramalkan IPCC—sekalipun saat itu belum ada manusia yang mempercepat perubahan.
Pada awal kala Eosen, 55 juta tahun lalu, hutan beriklim-sedang membentang sampai ke kutub; suhu air di Samudra Arktika, berdasarkan inti endapan yang dibor tahun 2004: 22,8 derajat Celsius. Sejauh ini belum ada model iklim yang bisa menjelaskan rumah kaca bersuhu tinggi seperti itu. Mungkin karena Bumi sebenarnya lebih sensitif terhadap CO2 daripada model yang ada. Tiga juta tahun lalu, pada kala Pliosen, tingkat CO2 mungkin 350 hingga 450 ppm, tetapi permukaan laut lebih tinggi sekitar 24 meter daripada sekarang. Pada akhir zaman es terakhir berikutnya, 125.000 tahun lalu, permukaan laut enam meter lebih tinggi daripada sekarang dan suhunya masih dalam perkiraan IPCC untuk tahun 2100.
IPCC memperkirakan kenaikan permukaan laut tak akan melebihi sekitar 60 sentimeter pada abad ini, tanpa menyertakan kemungkinan pelelehan melaju pesat di Greenland dan Antartika. Bukan karena para pakar yakin hal itu tak akan terjadi; namun karena belum mampu mengukur akibat pelelehan secepat itu.
Akhir-akhir ini, tanda-tanda dari Greenland dan Antartika mulai meresahkan. Pengukuran satelit mengindikasikan keduanya mulai kehilangan sejumlah besar dan sekarang menyumbang total hampir sekitar satu milimeter kenaikan permukaan air laut per tahun. Padahal, permukaan air laut juga naik karena air laut mengembang saat memanas dan gletser pegunungan di seluruh dunia meleleh. Sejak awal 1990-an, permukaan air laut naik sekitar tiga milimeter setahun. Padahal kenaikannya kurang dari dua milimeter per tahun pada dasawarsa sebelumnya. Laporan IPCC berasumsi permukaan air laut akan terus naik dengan laju yang sama, atau paling banyak, dua kalinya. Namun, kebenaran pa-ling hakiki yang dipelajari pakar dalam beberapa dasawarsa, terlepas dari fakta kita tengah mengubahnya, iklim memiliki istilah umum “tipping point”. Setelah titik itu, perubahan menjadi amat cepat. Apakah titik itu sudah dekat?
!break!Greenland memanas 4°C sejak 1991, jauh lebih besar dari bagian lain di dunia; kawasan selubung es, tempat terbentuknya danau gletser pada musim panas yang dulu merupakan jalur kecil sepanjang pantai, merayap masuk ke daratan dengan laju 13 persen per tahun. Samudra Arktika pada akhir musim panas lalu memiliki 23 persen lebih sedikit tutupan es permanen dibandingkan September 2005, saat data sebelumnya dicatat. Hanya dalam waktu dua tahun, kawasan es sekitar dua kali lipat luas Pulau Kalimantan telah hilang. Bagaimana efeknya terhadap Greenland dan Bumi jika semua perairan terbuka mulai menyerap sinar Matahari seperti jalanan aspal saat musim panas? Tak seorang pun tahu.
Ini justru membuat para pakar lebih khawatir. “Ada banyak hal dalam sistem iklim yang tak kita mengerti dan sebagian besar memperparah perkiraan yang ada sekarang terhadap dampak pemanasan di masa depan,” kata ahli geokimia Harvard, Dan Schrag baru-baru ini. Ia berbicara di lokakaryanya September lalu untuk mendiskusikan “tindakan putus asa “—rencana memompa sulfur yang menghalangi cahaya Matahari ke lapisan atas atmosfer untuk mendinginkan planet dan mencegah malapetaka.
Lagi pula, belum ada tanda emisi CO2 akan turun. “Pemakaian bahan bakar fosil secara global telah meningkat tiga kali lipat sejak saya mulai mengukur CO2,” tulis Keeling tahun 1998. Dalam empat dasawarsa itu ia memperhatikan bagaimana San Diego merambat ke arah timur Samudra Pasifik, menutupi lahan pertanian dan hutan dengan perumahan, jalan raya, dan mobil. “Saya berulang kali bertanya pada diri sendiri berapa lama lagi perkembangan ini bisa berlangsung.”
Menurut klimatologi terbaru, tak lama lagi, jika kita ingin aman di masa depan.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR