Analisa biaya mereka memperkirakan, sebutir baterai kentang rebus dengan elektroda seng dan tembaga bisa menghasilkan sumber energi bergerak sekitar US$9 (Rp118.000) per kwh, atau 1/50 lebih murah daripada satu butir baterai 1,5 volt AA Alkaline atau baterai sel D, yang berharga US$49-84 per kwh. Ini diperkirakan juga lebih murah 1/6 kali dibanding lampu minyak tanah standar yang dipakai di negara-negara berkembang.
Dan ini menimbulkan pertanyaan penting: kenapa baterai kentang belum jadi sukses besar?
Pada tahun 2010, produksi kentang dunia adalah sebanyak 324.181.889 ton. Kentang adalah hasil panen terbesar (di luar biji-bijian) di 130 negara dan merupakan sumber saripati utama bagi miliaran orang di seluruh dunia. Kentang murah, mudah disimpan, dan tahan lama.
Dengan jumlah 1,2 miliar orang yang tidak punya akses terhadap listrik, kentang yang bersahaja ini bisa menjadi jawaban –setidaknya begitulah pikiran para peneliti. “Kami rasa banyak organisasi yang akan tertarik,” kata Rabinowitch. “Misalnya, politisi di India akan berminat untuk mengukir nama mereka di kentang, lalu membagi-bagikannya. Harga sebutirnya tak sampai satu dolar!”
Tiga tahun percobaan berjalan dengan baik, mengapa tak ada juga pemerintah, perusahaan atau organisasi yang merangkul baterai kentang ini?
“Jawaban sederhananya adalah: mereka bahkan tak tahu soal ini,” kata Rabinowitch.
Tapi sebenarnya masalahnya bisa juga lebih rumit ketimbang itu.
!break!Pertama, ada persoalan dalam menggunakan makanan sebagai energi. Oliver Dubois, pejabat senior sumber daya alam di Badan PBB untuk Makanan dan Pertanian (FAO) mengatakan bahwa menggunakan makanan untuk energi –misalnya menggunakan tebu sebagai bahan bakar bio– harus bisa menghindari menipisnya simpanan bahan makanan dan persaingan dengan petani.
“Anda perlu melihat dulu: apakah sudah cukup kentang untuk dimakan? Lalu, apakah kita tak akan bersaing dengan petani yang mendapatkan penghasilan dengan berjualan kentang?” katanya. “Maka, jika kentang untuk dimakan sudah tersedia, kentang untuk dijual sudah tersedia, lalu masih ada kentang yang tersisa, barulah penggunaan kentang untuk energi boleh dilakukan.”
Di negara seperti Kenya, kentang merupakan makanan terpenting kedua bagi keluarga di sana, sesudah jagung. Petani kecil menghasilkan sekitar 10 juta ton kentang pada tahun ini dan sekitar 10-20% rusak sebagai sampah pascapanen disebabkan oleh kecilnya akses terhadap pasar, buruknya kondisi penyumpanan, dan soal-soal lain. Begitulah penjelasan Elmar Schulte-Geldermann, kepala ilmuwan kentang Afrika Sub-Sahara di Pusat Kentang Internasional di Nairobi, Kenya. Dan kentang yang tak berhasil dijual, bisa dengan mudah diubah menjadi baterai.
!break!Gengsi Baterai Kentang
Tapi di Srilanka, jarang kentang yang tersedia dan harganya mahal. Maka sekelompok ilmuwan di University of Kelaniya baru-baru ini memutuskan untuk melakukan percobaan dengan bahan yang lebih banyak tersedia dan gratis: empulur tanaman jenis palem (plantain piths).Fisikawan KD Jayasurya dan timnya menemukan bahwa teknik merebus menghasilkan peningkatan efisiensi serupa terhadap empulur palem dan daya kerja terbaik baterai didapatkan dengan memotong-motong empulur itu sesudah direbus.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR