Surga di telapak kaki ibu. Benarkah itu? Kami menanyakan kepada para pembaca BBC Culture mengenai tokoh ibu yang paling dicintai dan paling dibenci dalam karya sastra. Inilah pilihan para pembaca.
Paling mengontrol:
Mrs Bennet, Pride and Prejudice
Penutur cerita dalam novel karya Jane Austen ini menggambarkannya sebagai "perempuan yang tidak mau mengerti, tidak punya banyak informasi, dan tabiat yang tak menentu": Mrs Bennet berada di peringkat atas sebagai tokoh ibu yang paling tidak disukai pembaca.
Dengan dedikasi tegasnya untuk menikahkan putri-putrinya, Mrs Bennet menjadi orang tua paling suka ikut campur dalam kesusatraan.
Menurut seorang pembaca BBC Culture, Watfa Alassafin, Mrs Bennet "merupakan ibu paling gila yang pernah ada".
Namun, pembaca lain berpendapat bahwa Mrs Bennet lebih dari sekadar bahan lelucon, karena adanya bisnis perkawinan di masyarakat Inggris abad 19.
Seorang penulis biografi Austen, Bharat Thandon, menulis di harian The Guardian: "Jika Mrs Bennet terkadang-kadang sangat keterlaluan, maka dia juga merupakan gejala dari penyebab yang lebih besar yang bahkan lebih keterlaluan lagi."
Dan paling tidak, ia memperhatikan anak-anak perempuannya. "Apa pun yang terjadi di rumah Mrs Bennet, ia akan terus membela putrinya," kata Thandon. "Kita mungkin tidak selalu ingin Mrs Bennet di dekat kita, tetapi ada orang-orang lebih buruk yang bisa ada di samping Anda."
!break!Paling lalai:
Emma Bovary, Madame Bovary
Di sisi lain, ada sejumlah tokoh ibu yang membuat kita gusar karena mengabaikan anak-anak mereka, Anna Karenina dalam buku karya Tolstoy dan Undine Spragg dari The Custom of the Country karya Edith Wharton, masing-masing disebut masuk dalam kategori ini karena lebih memilih menyeleweng daripada mengasuh anak mereka.
Namun yang berada di peringkat paling atas sebagai ibu yang hanya memikirkan dirinya sendiri adalah Emma Bovary dalam Madame Bovary karya penulis Prancis Gustave Flaubert.
Istri dokter di sebuah kota kecil yang memiliki serangkaian hubungan gelap itu dianggap sebagai tokoh borjuis yang narsisistik, walaupun banyak orang membelanya juga.
The New Republic menyatakan: "Jika Emma Bovary memang hanya merupakan perempuan dangkal yang mengalami akhir yang buruk, tentunya ia tidak akan menjadi subjek novel yang bisa dikatakan novel terhebat Prancis di abad 19, novel yang kemudian menjadi titik mulai paham realisme." Yang pasti, walau demikian Emma Bovary tetap bukan ibu yang baik.
Paling kejam:
Medea
Tokoh ibu dalam novel Stephen King, Carrie, ini disebut paling kejam oleh beberapa orang karena memperlihatkan cinta yang sangat \'tegas\'.
Tokoh ibu Carrie ini diceritakan mengunci Carrie, putrinya, berjam-jam di dalam ruang kecil dan menyebut putrinya dihukum oleh Tuhan karena memiliki jerawat di wajahnya.
Tokoh ibu dalam novel semi-otobiografi Oranges are not the Only Fruit karya Jeanette Winterson, seperti halnya tokoh ibu dalam Carrie, juga sangat fanatik dalam beragama.
Ia membuat putrinya menjalani eksorsime atau upacara pengusiran setan.
Sementara itu novel Flowers in the Attic menceritakan tentang ibu yang sangat kejam dalam dua generasi.
Namun, yang berada di paling atas peringkat terkejam adalah Medea, perempuan jagoan dalam tragedi Yunani karya Euripides, yang membunuh dua orang anaknya sebagai pembalasan dendam setelah suaminya meninggalkannya untuk menikah dengan seorang putri.
!break!Paling kuat:
Helen Graham, The Tenant of Wildfell Hall
Walaupun sejumlah orang menyebut Medea sebagai naskah drama proto-feminis, tokoh perempuan jagoan lainnya dalam karya sastra membuktikan bahwa memang mungkin menjadi perempuan kuat yang bisa diteladani tanpa harus membunuh anaknya.
Untuk pembaca BBC Culture, Sarah Baach, perempuan itu adalah tokoh ibu dalam The Tenant of Wildfell Hall.
Novel kedua dan sekaligus terakhir karya Anne Brontë (yang menggunakan nama samaran Acton Bell) begitu mengejutkan, sehingga setelah meninggalnya Anne, adiknya Charlotte melarang diterbitkannya kembali buku itu.
Pertama diterbitkan pada tahun 1848, The Tenant of Wildfell Hall mengisahkan tentang seorang perempuan yang melarikan diri dari suaminya yang pemabuk serta suka main perempuan serta menghadapi risiko dikucilkan oleh masyarakat demi melindungi putranya yang masih kecil.
Dengan melarikan diri dari suaminya, Helen bukan saja menantang struktur sosial, tetapi juga melanggar hukum pada saat itu.
Seorang perempuan yang sudah menikah tidak bisa hidup sendiri secara independen, dan dengan membawa anaknya, ia bisa dikenai tuntutan melakukan penculikan.
Tindakan Helen ini bukan hanya menjadikannya sebagai ibu yang baik; tetapi juga membantu menyulut timbulnya gerakan.
May Sinclair, aktivis Suffragette (para perempuan yang menuntut diberi hak untuk ikut dalam pemilihan umum di akhir abad 19), mengatakan pada tahun 1913 keberanian Helen membanting pintu kamarnya untuk melarang masuk suaminya bergaung keras di masyarakat di zaman Victoria Inggris.
!break!Paling penuh kasih sayang:
Marilla Cuthbert, Anne of Green Gables
Walau dari luar kelihatannya merupakan sosok yang keras, ibu angkat gadis yatim piatu berambut merah Anne ini ternyata merupakan orang yang sangat lembut hati, seperti digambarkan dalam novel tahun 1908 itu.
Begitu menawannya Marilla, sehingga penulis novel Margaret Attwood menyebutkan bahwa Marilla merupakan tokoh utama dalam Anne of Green Gables: "Hanya Marilla yang mampu membuat sesuatu yang tak terbayangkan di awal buku ini.
Rasa cintanya yang makin mendalam, Anne, dan kemampuannya untuk mengekspresikan rasa cinta itu merupakan transformasi ajaib yang nyata.
Anne merupakan katalisator yang memungkinkan Marilla yang keras dan kaku untuk akhirnya dapat mengemukakan emosi manusianya yang lembut yang sudah lama terkubur."
!break!Paling jagoan dalam menyatukan keluarga:
Mrs Waterbury, The Railway Children
Meskipun memang cenderung untuk menjadi tokoh yang terlalu baik sehingga menjadi seperti orang suci, tokoh ibu atau yang disebut Marmee dalam novel Little Women mendapat sejumlah suara untuk diangkat sebagai salah satu tokoh ibu yang paling pandai menyatukan keluarganya saat suaminya bertugas di medan perang.
Namun ada seorang tokoh yang paling banyak dipuji karena memberikan gambaran yang lebih menyeluruh sebagai ibu tunggal, yaitu tokoh ibu dalam The Railway Children.
Menurut seorang pembaca BBC Culture, sang ibu dalam The Railway Children ini merupakan "tokoh ibu yang nyata, kuat tetapi juga rentan."
Dengan menghadirkan visi masa kanak-kanak yang diidealisasi, novel ini mengandung ketegangan antara penampilan dan realita – yang menurut sejumlah orang mencerminkan kehidupan pribadi penulis E Nesbit.
Suami Nesbit memiliki hubungan gelap dengan sahabat baik Nesbit, yang kemudian melahirkan dua orang anak yang dibesarkan oleh Nesbit sebagai anaknya sendiri.
Jenny Agutter—yang memainkan tokoh Roberta di film yang dibuat berdasarkan buku ini pada tahun 1970, dan kemudian juga memainkan tokoh ibu di produksi tahun 2000,—pernah mengatakan bahwa, "Kehidupan Nesbit selalu tidak stabil. Yang membuatnya bertahan adalah keyakinannya bahwa akan ada jalan keluar pada akhirnya ... Dengan latar belakang kehidupan keluarganya sendiri yang tegang dan rumit, ia menulis cerita tentang keluarga yang bersatu dengan kuat."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR