Politik di Arab itu menjadi penjuru atau variabel independen dalam berbagai kehidupan, bahkan sampai dalam pengembangan ilmu dan pemikiran yang notabene banyak dicerna di sini dalam konteks Indonesia yang sebenarnya berbeda. Setelah menjelaskan fenomena politik di dunia Arab yang berperan dalam mengarahkan dan membelokkan pemikiran Arab-Islam sejak era kodifikasi, Abed al-Jabiri, seorang pemikir Arab kontemporer, penggagas proyek pemikiran Kritik Nalar Arab dalam bukunya Takwin al-\'Aqlu al-\'Arabi (1989), mengatakan bahwa berbagai analisis terhadap pemikiran dan keilmuan Arab tidak akan pernah utuh-dan kesimpulan-kesimpulannya bisa menyesatkan-jika tidak mempertimbangkan faktor politik struktural dan historis.
Pasalnya, dalam konteks Arab politik (siyasah) adalah panglima: politiklah yang melahirkan sekte-sekte teologi dalam Islam, dan karena itu politik pulalah yang sejatinya menjadi ibu dari skisma Sunni-Syiah. Sikap-sikap politik yang tentu saja bersifat parsial mulai mencari sandaran dalam agama dan ini merupakan langkah teoretis permulaan yang menjadi landasan bagi apa yang di kemudian hari disebut dengan ilmu teologi (ushuluddin).
Buya Syafii Maarif menegaskan bahwa sebelum 657 M itu golongan Sunni, Syiah, dan Khawarij belum dikenal dalam sejarah Islam. Perang Siffin itulah yang memicu kemunculan sekte-sekte dalam Islam dan merusak seluruh perjalanan sejarah umat Islam selama 14 abad. Benar sekali jika Dr Thoha Husen, ilmuwan dan sastrawan Mesir modern, menyebut Perang Siffin sebagai malapetaka terbesar (al-fitnatu al-kubra) dalam sejarah Arab-Islam.
Dalam konteks dan perspektif historis seperti ini, ilmu teologi dalam Islam bukan semata-mata soal akidah atau keimanan, melainkan merupakan praktik politisasi agama in optima forma. Dalam nalar Arab, politik masa lalu bukan peristiwa semata, melainkan juga merupakan preseden dan dasar-dasar (ushul) di mana orang-orang dari generasi belakangan (khalaf) mewarisi pengetahuan kultural dari generasi pendahulunya (salaf).
Negara (kekhalifahan, daulah, dan kesultanan, dulu; atau kerajaan/al-mamlakah, republik/ al-jumhuriyah, kini) dan oposisinya sama saja kelakuannya: masing-masing ingin merengkuh masa lalu itu dan memanfaatkannya untuk kebaikan dirinya. Politik di dunia Arab saat ini, baik berkenaan dengan negara atau oposisinya, merupakan kelanjutan atau bablasan dari politik masa lalu yang memperebutkan dan mempertahankan hegemoni politik di kawasan panas itu.
Perebutan hegemoni
Fatalnya sebagian umat Islam Indonesia memandang perpolitikan Arab yang kompleks tersebut secara agama. Malah dalam kasus Yaman diam-diam umat Islam Indonesia terpecah dua: yang mendukung aliansi Arab dan yang mendukung Houthi.
Fatalnya argumen yang mendasari dukung-mendukung itu adalah agama, bahkan sektarian. ISIS pun yang notabene gerakan politik, di Indonesia dianggap sebagai gerakan agama belaka.
Uniknya, sekaligus bedanya: di sana yang namanya politik benar-benar politik. Meski ada rivalitas antara Saudi dan Iran, di sana tidak ada pengafiran (takfiri) satu sama lain. Jutaan anggota jemaah umrah dan haji dari Iran setiap tahun memasuki Mekkah tanpa masalah. Itulah politik di Arab. Sayang, politik di Arab itu menjadi teologi di Indonesia.
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2015 dengan judul "Politik di Arab, Teologi di Indonesia".
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR