Gelombang pengungsi kelompok etnis Rohingya telah berlangsung dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai faktor pemicu membuat para pengungsi kini terdampar di perairan Indonesia, Thailand, dan Malaysia dalam kondisi memprihatinkan. Selain persoalan diskriminasi, krisis Rohingya juga menyangkut persoalan ekonomi dan politik.
Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mencatat, dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 120.000 orang Rohingya telah mengungsi ke luar negeri dengan menggunakan kapal. Dalam kuartal pertama tahun 2015, sebanyak 25.000 warga Rohingya meninggalkan Myanmar. Angka ini sekitar dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Di Indonesia, hingga tahun 2014 terdapat 11.000 pengungsi Rohingya.
Siapa sebenarnya Rohingya? Dalam beberapa literatur disebutkan, Rohingya merupakan nama kelompok etnis yang tinggal di Negara Bagian Arakan atau Rakhine sejak abad ke-7 Masehi. Etnis Rohingya bukanlah keturunan orang Banglades ataupun etnis Bengali saja. Nenek moyang Rohingya berasal dari campuran Arab, Turki, Persian, Afganistan, Bengali, dan Indo-Mongoloid.
Menurut taksiran PBB, jumlah populasi orang Rohingya mencapai 1,5 juta-3 juta jiwa. Sekitar 800.000 bermukim di Negara Bagian Rakhine yang tergolong paling miskin di Myanmar dan sisanya menyebar di banyak negara. Warga etnis Rohingya beragama Islam, sementara mayoritas warga Myanmar beragama Buddha.
Diskriminasi
Meski sudah tinggal berabad-abad lamanya di Myanmar, Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya bukan kelompok etnis asli. Keturunan Rohingya tetap dipandang sebagai pengungsi ilegal etnis Bengali dari negara tetangga Banglades. Di pihak lain, Banglades juga tidak mengakui mereka sebagai warga negara. Saat ini terdapat sekitar 300.000 warga Rohingya di Banglades, terutama di kawasan perbatasan di Myanmar.
Menurut Burmese Rohingya Organisation UK (Brouk) atau organisasi Rohingya di Inggris, Pemerintah Myanmar selalu membuat kebijakan yang menekan kelompok etnis Rohingya sejak 1970-an. Tekanan terhadap warga Rohingya secara bertahap meningkat sejak proses reformasi yang diperkenalkan Presiden Thein Sein pada 2011.
Pada Juni dan Oktober 2012, meletus konflik di wilayah Rakhine atau Arakan yang menjadikan kelompok Rohingya sebagai sasaran kekerasan. Menurut versi resmi Pemerintah Myanmar, konflik dipicu peristiwa perampokan dan pembunuhan seorang wanita Buddha di Yanbye dan pembunuhan sepuluh orang Muslim di dalam bus di Taungup pada 28 Mei dan 3 Juni 2012.
Jika ditelusuri lebih jauh, konflik yang meletus pada 2012 dan berlanjut hingga sekarang ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Menilik sejarahnya, krisis Rohingya tidak bisa dilepaskan dari persoalan diskriminasi. Persekusi atau pemburuan sewenang-wenang terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Pada 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya.
!break!
Puncaknya terjadi pada 1982 ketika UU Kewarganegaraan Myanmar mengeluarkan Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay, Ba Shu, dan enam etnis lainnya dari daftar delapan etnis utama dan 135 kelompok etnis kecil lainnya. Dalam UU itu dinyatakan, seseorang atau kelompok etnis hanya diakui sebagai warga asli Myanmar dan berhak atas status kewarganegaraan hanya jika dapat membuktikan mereka punya nenek moyang yang tinggal dan hidup di wilayah Myamar sejak tahun 1823. Status etnis Rohingya kemudian diturunkan menjadi hanya temporary residents yang menyandang temporary registration cards (Benedict Rogers, 2012).
Produk hukum itu dihasilkan di masa junta militer masih sangat berkuasa. Jauh sebelum UU itu dibuat dan disahkan, Pemerintah Myanmar juga berkali-kali mengeluarkan kebijakan keras terhadap warga Rohingya yang mengarah pada pelanggaran HAM berat dengan tujuan mengusir mereka keluar dari Myanmar.
Sikap pemerintah yang tidak bersedia memasukkan Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar tersebut diyakini menjadi faktor utama berlarut-larutnya persoalan Rohingya. Karena keberadaan mereka tak diakui, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan. Kehidupan warga Rohingya pun sangat dibatasi. Mereka dilarang menikah tanpa mengantongi izin resmi. Setelah menikah, mereka tidak diperbolehkan punya anak lebih dari dua orang. Mereka juga tidak berhak memiliki paspor.
Dengan status seperti itu, anak-anak Rohingya kehilangan hak dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan. Tak heran, dengan kondisi seperti itu, UNHCR mengategorikan Rohingnya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Semua itu menunjukkan, konflik yang melibatkan warga etnis Rohingya bukanlah konflik sektarian antaretnis ataupun antar-pemeluk agama tertentu, melainkan kekerasan struktural yang dilegalkan oleh negara.
!break!
Penarikan kartu putih
Terakhir, Pemerintah Myanmar menarik "kartu putih" yang merupakan satu-satunya kartu identitas resmi etnis Rohingya. Kartu putih milik orang-orang Rohingya dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret 2015.
Kartu putih adalah kartu identitas yang diberikan bagi orang-orang yang tinggal di Myanmar, tetapi tidak mendapatkan status resmi sebagai penduduk, penduduk asosiasi, penduduk netral, atau warga negara asing. Pemegang kartu putih berarti mereka bukanlah warga negara Myanmar atau warga negara asing.
Bersamaan dengan ditariknya kartu putih, orang-orang Rohingya juga kehilangan hak untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu). Sesuai referendum yang diselenggarakan pada 2008, pemegang kartu putih mendapatkan hak pilih dalam pemilu. Pembatalan dari Presiden Thein Sein ini menutup kesempatan orang Rohingya untuk berpartisipasi dalam Pemilu Myanmar 2015.
Kartu putih pertama kali diluncurkan pada 1990-an oleh rezim militer sebelumnya. Pada waktu itu, pemerintah mengganti kartu identitas perserikatan Myanmar (union of Myanmar identity card) dengan kartu registrasi nasional (national registration cards). Beberapa etnis yang tidak diakui pemerintah diberikan kartu putih meski sebelumnya mereka memegang kartu identitas perserikatan Myanmar.
Selain persoalan diskriminasi, faktor ekonomi juga dinilai menjadi penyebab munculnya krisis Rohingya. Menurut Hamid Awaluddin, konflik komunal di Myanmar terjadi karena masalah kemiskinan. Kemiskinan dengan mudah menyulut api kemarahan karena sensitivitas dalam segala hal selalu terjadi (Kompas, 22/8/2012).
!break!
Upaya penyelesaian
Berbagai upaya penyelesaian terkait krisis Rohingya sebenarnya telah dilakukan banyak pihak. Malaysia sebagai ketua bergilir ASEAN 2015, misalnya, mendesak Myanmar untuk bertanggung jawab membuat solusi atas krisis kemanusiaan yang dihadapi etnis Rohingya. Sebagai bentuk kepedulian atas krisis dan untuk memberikan tekanan kepada Myanmar, beberapa anggota ASEAN akan bertemu di Malaysia (Kompas, 17/5/2015).
Sebelumnya, pada November 2014, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang mendesak Pemerintah Myanmar untuk mengakui kewarganegaraan Rohingya. Resolusi itu diadopsi secara mufakat pada sidang Komite Hak Asasi Manusia, Majelis Umum PBB, di New York, Amerika Serikat.
Resolusi itu pada intinya menyatakan "keprihatinan mendalam" atas nasib sekitar 800.000 warga Rohingya yang berdiam di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat, dan yang tersingkir ke kamp-kamp pengungsi di Myanmar, Banglades, dan di perbatasan Myanmar-Thailand. PBB mendesak Pemerintah Myanmar di Naypyidaw untuk memberikan status kewarganegaraan bagi etnis minoritas Rohingya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR