Sikap pemerintah yang tidak bersedia memasukkan Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar tersebut diyakini menjadi faktor utama berlarut-larutnya persoalan Rohingya. Karena keberadaan mereka tak diakui, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan. Kehidupan warga Rohingya pun sangat dibatasi. Mereka dilarang menikah tanpa mengantongi izin resmi. Setelah menikah, mereka tidak diperbolehkan punya anak lebih dari dua orang. Mereka juga tidak berhak memiliki paspor.
Dengan status seperti itu, anak-anak Rohingya kehilangan hak dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan. Tak heran, dengan kondisi seperti itu, UNHCR mengategorikan Rohingnya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Semua itu menunjukkan, konflik yang melibatkan warga etnis Rohingya bukanlah konflik sektarian antaretnis ataupun antar-pemeluk agama tertentu, melainkan kekerasan struktural yang dilegalkan oleh negara.
!break!
Penarikan kartu putih
Terakhir, Pemerintah Myanmar menarik "kartu putih" yang merupakan satu-satunya kartu identitas resmi etnis Rohingya. Kartu putih milik orang-orang Rohingya dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret 2015.
Kartu putih adalah kartu identitas yang diberikan bagi orang-orang yang tinggal di Myanmar, tetapi tidak mendapatkan status resmi sebagai penduduk, penduduk asosiasi, penduduk netral, atau warga negara asing. Pemegang kartu putih berarti mereka bukanlah warga negara Myanmar atau warga negara asing.
Bersamaan dengan ditariknya kartu putih, orang-orang Rohingya juga kehilangan hak untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu). Sesuai referendum yang diselenggarakan pada 2008, pemegang kartu putih mendapatkan hak pilih dalam pemilu. Pembatalan dari Presiden Thein Sein ini menutup kesempatan orang Rohingya untuk berpartisipasi dalam Pemilu Myanmar 2015.
Kartu putih pertama kali diluncurkan pada 1990-an oleh rezim militer sebelumnya. Pada waktu itu, pemerintah mengganti kartu identitas perserikatan Myanmar (union of Myanmar identity card) dengan kartu registrasi nasional (national registration cards). Beberapa etnis yang tidak diakui pemerintah diberikan kartu putih meski sebelumnya mereka memegang kartu identitas perserikatan Myanmar.
Selain persoalan diskriminasi, faktor ekonomi juga dinilai menjadi penyebab munculnya krisis Rohingya. Menurut Hamid Awaluddin, konflik komunal di Myanmar terjadi karena masalah kemiskinan. Kemiskinan dengan mudah menyulut api kemarahan karena sensitivitas dalam segala hal selalu terjadi (Kompas, 22/8/2012).
!break!
Upaya penyelesaian
Berbagai upaya penyelesaian terkait krisis Rohingya sebenarnya telah dilakukan banyak pihak. Malaysia sebagai ketua bergilir ASEAN 2015, misalnya, mendesak Myanmar untuk bertanggung jawab membuat solusi atas krisis kemanusiaan yang dihadapi etnis Rohingya. Sebagai bentuk kepedulian atas krisis dan untuk memberikan tekanan kepada Myanmar, beberapa anggota ASEAN akan bertemu di Malaysia (Kompas, 17/5/2015).
Sebelumnya, pada November 2014, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang mendesak Pemerintah Myanmar untuk mengakui kewarganegaraan Rohingya. Resolusi itu diadopsi secara mufakat pada sidang Komite Hak Asasi Manusia, Majelis Umum PBB, di New York, Amerika Serikat.
Resolusi itu pada intinya menyatakan "keprihatinan mendalam" atas nasib sekitar 800.000 warga Rohingya yang berdiam di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat, dan yang tersingkir ke kamp-kamp pengungsi di Myanmar, Banglades, dan di perbatasan Myanmar-Thailand. PBB mendesak Pemerintah Myanmar di Naypyidaw untuk memberikan status kewarganegaraan bagi etnis minoritas Rohingya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR