Perusahaan produsen bubur kertas dan kertas asal Indonesia menyatakan telah berhenti menebangi hutan. Meski demikian, upaya melawan penggundulan hutan masih jauh dari sukses.
April, nama perusahaan tersebut, mendapat konsesi lahan hutan seluas satu juta hektare. Namun, melalui sebuah kebijakan, mereka akan memberikan 480.000 hektare untuk pelestarian hutan. Kini, dari komitmen itu, sedikitnya 250.000 hektare telah dilestarikan.
Kelompok pegiat lingkungan Greenpeace menyebut perusahaan itu sebagai "pahlawan" dan berjanji akan mengawasi penetapan kebijakan baru itu.
Padahal, ketika kebijakan itu diluncurkan pada tahun lalu, berbagai kelompok lingkungan termasuk Greenpeace mengatakan langkah itu "terlalu sedikit dan terlalu telat".
Bahkan, awal tahun ini, Greenpeace merilis foto-foto penebangan hutan dan pengeringan lahan gambut oleh anak perusahaan April dan menyandingkannya dengan kompetitor terbesar April, yaitu Asia Pulp & Paper yang telah berkomitmen untuk berhenti mengambil bahan-bahan dari hutan alam sejak 2013.
Aktivis hutan dari Greenpeace Indonesia, Bustar Maitar, mengatakan dukungan kelompoknya bagi kebijakan baru perusahaan itu bukan harga mati.
"Kami mempertaruhkan kredibilitas Greenpeace untuk memastikan penetapan kebijakan ini. Bila suatu saat nanti April melanggar komitmen mereka, Greenpeace tidak akan ragu untuk menarik kembali dukungannya. Kami hanya ingin memastikan tidak akan ada lagi penebangan hutan alam," kata Bustar.
!break!
Kelangsungan
Ketika ditanya apakah April memutuskan untuk meningkatkan rencana pelestarian hutan mereka karena adanya tekanan sosial, Anderson Tanoto, direktur dan putra pendiri induk perusahaan April, RGE, menekankan bahwa tindakan itu dilakukan untuk kelangsungan jangka panjang.
"Kami hanya mau berkomitmen untuk tindakan yang bisa kami lakukan. Kami harus memastikan bahwa kami benar-benar bisa melindungi hutan. Jadi kami tidak merasa dituntut oleh pasar namun kami percaya bahwa ini hal yang benar harus dilakukan," kata Anderson.
Walau April menempuh kebijakan pelestarian itu, faktanya menurut laporan terbaru Indonesia menyumbang deforestrasi global.
Akan tetapi, undang-undang kehutanan tampaknya masih berpihak pada produksi dan bukan pada pelestarian.
Ida Bagus Putra Parthama, direktur jenderal di kementerian perhutanan, memuji kebijakan baru April itu. Kendati demikian, dia tidak melihat adanya urgensi untuk mendorong perusahaan-perusahaan lain melakukan hal yang sama.
"Bila apa yang dilakukan April sukses dan pada saat bersamaan bisa kompetitif, kita bisa meminta perusahaan lain untuk melakukan itu. Namun kita masih harus meninjau apakah kita bisa mengharuskan perusahaan-perusahaan lain untuk lebih banyak melestarikan," katanya.
!break!
Sejumlah pegiat lingkungan mengatakan kalaupun pemerintah menerapkan larangan penebangan hutan yang lebih ketat, kecil kemungkinan aturan itu bisa diterapkan karena anggaran konservasi hutan yang minim serta kapasitas penegakan hukum yang buruk di Indonesia.
Untuk mengurangi penggundulan hutan di Indonesia, para aktivis lingkungan hidup mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk berkomitmen melindungi hutan dan memastikan mereka memiliki kebijakan yang sama hingga tingkatan yang paling rendah.
"Lahan konsevasi di Indonesia bahkan masih ditebangi, kadang-kadang tidak jelas oleh siapa," kata Nyoman Iswarayoga dari WWF-Indonesia. "Jadi kami meminta perusahaan-perusahaan besar untuk tidak membeli material dari pihak ketiga yang menebangi hutan."
Pulau Sumatra, tempat April beroperasi, telah kehilangan 75% hutannya sebagian besar karena produksi minyak sawit. Kebanyakan hutan-hutan yang tersisa di Indonesia terletak di Pulau Kalimantan dan Papua, yang kaya akan minyak, batu bara dan mineral.
Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia, produsen batu bara lima besar di dunia, serta sepuluh terbesar untuk produksi kertas dan bubur kertas. Mengimbangi kebutuhan untuk meningkatkan produksi dan pada saat bersamaan melestarikan lingkungan masih menjadi tugas sulit bagi pemerintah.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR