Pekan ini menjadi pekan pertama bagi seluruh umat Muslim dunia untuk menjalankan ibadah puasa Ramadan. Meski demikian, menunaikan ibadah puasa tahun ini merupakan tantangan tersendiri bagi umat Muslim yang berada di negara-negara bagian utara bumi, di mana matahari tidak pernah terbenam.
Dalam dua tahun belakangan, bulan Ramadan yang ditandai dengan terlihatnya bulan baru, jatuh di musim panas, bagi negara-negara yang mengalami pergantian empat musim. Hal ini bukan fenomena baru, lantaran tiga dekade lalu, atau sekitar pertengahan 1980an, hal ini juga pernah terjadi.
Kala itu, tidak banyak umat Muslim yang tinggal di negara-negara wilayah utara bumi. Namun kini, sejumlah komunitas Muslim dapat ditemukan di wilayah Lingkaran Kutub Utara. Tak sedikit umat Muslim dari Somalia, Irak, dan Pakistan berimigrasi ke negara-negara Eropa, seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia. Perdebatan seputar cara berpuasa di negara tanpa matahari terbenam pun menyeruak.
Salah satu contoh di Kota Tromso, yang terletak di jantung wilayah utara Norwegia, sekitar 350 km sebelah utara Lingkaran Arktik, Norwegia. Pada periode akhir Mei hingga akhir Juli, kota kepulauan yang dikelilingi oleh pegunungan yang tertutup salju ini mengenal fenomena "matahari tengah malam", di mana matahari tidak terlihat terbenam bahkan hingga tengah malam.
Fenomena ini terakhir terjadi pada 1986, ketika belum terdapat komunitas Muslim di kota ini. Arus pengungsi pada tahun yang sama mendorong munculnya komunitas Muslim di kota ini, terutama datang dari Iran.
Kini, jumlah populasi Muslim di Tromso mencapai 1.000 orang, sebagian besar terdiri dari para pengungsi dari Somalia, sejumlah imigran dari negara lain dan juga beberapa mualaf lokal.
"Matahari tidak terbenam. Selama 24 jam, matahari berada di tengah-tengah langit," kata Hassan Ahmed, seorang warga Muslim asal Somalia yang datang ke Kota Tromso dan bekerja di Pusat Kajian Islam Norwegia Utara, dikutip dari The Atlantis, Jumat (19/6).
Oleh karena itu, menunaikan ibadah puasa dengan berpatokan kepada terbit dan tenggelamnya matahari merupakan sesuatu yang hampir mustahil dilakukan bagi umat Muslim di Kota Tromso.
Muslim di Tromso pun menemukan solusi agar tetap dapat menjalankan ibadah puasa meski tanpa pernah melihat matahari terbenam.
"Kami memiliki fatwa, atau keputusan ulama. Kami dapat menyesuaikan waktu berpuasa dengan negara Islam terdekat, atau dengan Mekkah," kata Ahmed.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sandra Maryam Moe, seorang mualaf Norwegia yang bekerja sebagai pengelola Masjid Alnor di Kota Tromso.
"Karena kami tetap melihat matahari hingga tengah malam selama bulan Ramadan tahun ini, kami memilih mengikuti jadwal Mekkah," kata Moe.
Dengan kesepakatan ini, jika matahari terbit di Mekah pada pukul 5:00 pagi, warga Tromso juga akan mulai berpuasa pada pukul 5 pagi waktu setempat.
Selain menjadi pilihan simbolik, lanjut Moe, mengikuti jadwal Mekkah, juga memberikan manfaat praktis. "Waktu matahari terbit dan terbenam sangat stabil di sana, sehingga membuat aktivitas berdoa dan berpuasa cukup seimbang," katanya.
Sehingga pada pukul 19.07 malam ini, saat matahari sudah terbenam di Mekah, Muslim di Tromso berkumpul di Masjid Alnor untuk berbuka. Di masjid yang merupakan salah satu masjid paling utara di dunia, jemaah berbuka puasa dengan sinar matahari yang masih terik bersinar.
Penganan berbuka bagi umat Muslim di wilayah ini beragam, mulai dari kombinasi masakan negara asal, hingga masakan lokal dengan roti tebal khas Norwegia yang terkenal.
"Masjid penuh setiap malam, orang-orang datang untuk berbuka puasa dan salat bersama. Ini hanya terjadi sepanjang Ramadan," kata Moe.
Meski demikian, masalah umat Muslim di kota ini bukan hanya matahari yang tak pernah terbenam. Di musim dingin, masalah sebaliknya justru terjadi dan memengaruhi jadwal salat mereka.
Oleh karenanya, Moe menyatakan komunitas Muslim di kota ini lebih memilih mengikuti jadwal dari Saudi sepanjang tahun. "Di musim dingin, kami memiliki masalah sebaliknya. Tidak ada matahari terbit di sini," kata Moe.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR