Meski 1945 Indonesia merdeka dan Jepang kalah, bukan berarti ada kebebasan bagi orang Indo. Perjuangan pasca kemerdekaan makin sengit karena orang Eropa yang tinggal di sana tidak yakin dengan kehidupan tanpa dikoloni Belanda. Bahkan, sang nenek Zijlstra juga pernah dikurung dalam kamp, dan diawasi tentara Indonesia.
"Secara keseluruhan, kami memiliki kamp yang sangat bagus di sana," kenang sang nenek pada Zijlstra dalam buku. "Karena ada tarian dan segala macam hal yang dilakukan." Tapi tetap saja kondisinya mengenaskan, karena kamp itu tidak memiliki perabotan yang baik, dan tidur di atas tikar dalam kamar bersama puluhan orang.
Nasib keluarga Zijlstra kemudian berubah pada beberapa tahun berikutnya, dan memutuskan untuk meninggalkan Indonesia pada 1955.
Pada masa itu, nenek Zijlstra menggambarkan kondisi Indonesia yang baru merdeka sedang kacau, terutama sentimen anti-Belanda terjadi. "Keluar dari sini. Tidak ada masa depan bagi anak-anak lagi," katanya.
Baca Juga: Zwarte Sinterklaas, Eksodus Masyarakat Sipil Belanda dari Indonesia
Sentimen anti-Belanda bermula dari bahasan teritori Indonesia di Papua dalam perundingan PBB tahun 1957. M.C Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c. 1200, Sukarno kecewa karena Belanda bersikukuh, dan mendorong gerakan radikalisme anti-Belanda lewat Kementerian Hukum agar mengusir 46.000 warga sipil Belanda di Indonesia.
Seiringan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal A.H Nasution, kerusuhan terjadi.Warga sipil keturunan Belanda pada Desember 1957 tidak bisa merayakan natal, dan dikenang sebagai Zwarte Sinterklaas. Ratu Juliana pun menginstruksikan warganya untuk segera pergi meninggalkan Indonesia yang kacau menuju Belanda.
Singkatnya, buku De Voormothers adalah buku tentang perjuangan seorang wanita yang berani mengambil keputusan terbaik, ketika situasi yang sangat sulit.
"Nenek saya sangat baik kepada saya dan saudara perempuan saya. Pindah ke Belanda pasti sangat sulit baginya, tetapi dia dengan berani melewatinya. Dia fantastis untuk cucu-cucunya dan itu juga mewarnai cerita," terang Zijlstra di Mare, kabar mingguan Leiden University.
Baca Juga: Sekolah Van Deventer, Jejak Lahirnya Guru-guru Perempuan di Surakarta
Source | : | berbagai sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR