Puluhan orang perempuan dari etnis Cham tengah sibuk berbelanja di pasar kaget di wilayah Da Phouc, Provinsi An Giang, Vietnam untuk persiapan buka puasa.
Suasananya lebih tampak seperti di Indonesia ketimbang di Vietnam, lantaran para perempuan tersebut hampir semuanya mengenakan baju gamis dan berkerudung.
Sementara beberapa lelaki terlihat menggunakan sarung dan peci terlihat tengah duduk di depan masjid Al Ehsan di Da Phouc, dekat kota Chau Doc di Provinsi An Giang.
Ketika adzan yang menandakan salat ashar berkumandang dari masjid Al Ehsan tampak puluhan lelaki menghentikan pekerjaan mereka dan beranjak ke dalam masjid.
Di Provinsi An Giang, ada lima desa yang dihuni oleh etnis Cham, tetapi hanya satu desa di sekitar Masjid Al Ehsan, Da Phouc, An Phu yang seluruh penghuninya beragama Islam.
"Ada sekitar 200 kepala keluarga atau 2.000 orang di sini dan semua penghuninya adalah etnis Cham," jelas Imam masjid Al Ehsan, Sulaiman Ibrahim.
Dulu etnis Cham menganut Hindu, yang merupakan mayoritas penduduk di Kerajaan Champa, yang menguasai wilayah selatan dan tengah Vietnam.
Tetapi kemudian secara bertahap mereka berpindah menganut Islam.
!break!Putri Champa
Raja terakhir, Po Chien, merupakan seorang Muslim, yang pengikutnya menyebarkan agama Islam sampai ke Indonesia, yang dikenal dengan Putri Champa atau Darawati yang makamnya terdapat di Trowulan.
Ketika Kerajaan Champa ditaklukan Vietnam pada abad ke 15, Po Chien dan pengikutnya kemudian bermigrasi ke Vietnam bagian selatan dan sebagian berpindah ke Kamboja.
Bangunan menara kuno peninggalan kerajaan Champa di wilayah pusat pemerintahannya di Nha Trang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya yang dilindungi.
Kini etnis Cham merupakan kelompok minoritas di Vietnam, yang berjumlah lebih dari 160.000 ribu orang dari total populasi sekitar 90 juta penduduk.
Sebagian besar dari mereka beragama Islam, meskipun ada yang masih menganut kepercayaannya leluhur yang disebut Cham Bani.
!break!Etnis Cham Melayu
Di An Giang, mereka menyebut dirinya sebagai etnis Cham Melayu. Ini tidak terlalu mengherankan, karena percampuran budaya Cham dan Melayu di daerah ini sangat terasa.
Sejak dulu banyak pendatang dari Malaysia dan Indonesia ke An Giang, ungkap Imam Besar Masjid Mubarak yang terletak di Tan Chau, Mohamad Yousuf.
"Sejak dulu banyak pendatang dari Malaysia dan Indonesia. Mereka menikah dengan orang sini, orang Cham di Vietnam," kata Yousuf.
Para pendatang dari Malaysia kemudian membangun masjid tertua di kampung ini yaitu Masjid Mubarok pada 1750.
Etnis Cham dari wilayah ini juga banyak yang meneruskan pendidikan agama melalui beasiswa dari berbagai negara, karena sarana pendidikan yang kurang di Vietnam, jelas Gazali Bin Ahmad, guru Agama di Masjid Mubarok.
"Ada yang belajar di Malaysia, Indonesia, Madinah. Anak-anak itu belajar dengan gratis, karena Muslim di Vietnam tidak memiliki uang untuk belajar, dan nanti ketika pulang mereka mengajar di kampung," jelas Gazali.
Gazali mengatakan para lulusan luar negeri itu akan mengajarkan pendidikan al Qur\'an kepada anak-anak madrasah-madrasah di Vietnam.
Bebas beribadah
Di An Giang, masjid Al Ehsan, tengah dipugar dengan sumbangan dari negara tetangga yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Meski pemerintah negara ini menganut paham Komunis, dan mengontrol masyarakatnya dengan ketat, tetapi Umat Muslim di Vietnam bebas menjalankan ibadah.
Malah sebagai etnis minoritas, pemerintah Vietnam memberikan fasilitas untuk warga Cham, seperti dijelaskan oleh Dosen Fakultas Studi Oriental Universitas Social Science and Humanities Ho Chi Minch, Nguyen Thanh Tuan.
"Banyak bantuan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada etnis Cham, terutama di masalah pendidikan," jelas Dia.
Tetapi bantuan dari pemerintah tersebut dianggap belum cukup, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama Islam, jelas Sulaiman.
"Masih kurang sekolah agama tingkat yang tinggi, sebaliknya madrasah di sini banyak sekali," jelas Sulaiman.
!break!Pekerjaan sulit
Selain masalah pendidikan, warga Cham di Vietnam masih sulit untuk mencari pekerjaan.
Desa Cham Muslim di pinggiran sungai Mekong, terutama Da Phuoc, merupakan tujuan wisata yang populer bagi turis.
Namun demikian, sebagian besar penduduknya tidak mendapatkan banyak keuntungan dari jutaan turis, meski ada beberapa orang yang menjual barang-barang kerajinan dan hasil tenun ke para turis, ungkap Sulaiman.
"Kami tak mendapatkan keuntungan dari turis yang datang, tak ada dari kami yang berbisnis di sana, ya kebanyakan orang Vietnam itu," jelas dia.
Penduduk wilayah ini kebanyakan bekerja sebagai nelayan, petani dan berdagang, tetapi sebagian besar dari mereka memilih bekerja di kota lain.
Kondisi yang sama dialami etnis Cham di pinggiran sungai Mekong lainnya yang berada di seberang Kota Chau Doc, seperti disampaikan Gazali.
"Di sini sangat sedikit pekerjaan," jelas Gazali.
Seorang etnis Cham lainnya, Karim mengatakan dia pernah bekerja di Ho Chi Minh selama lima tahun.
"Saya bekerja dengan orang Malaysia di Ho Chi Minh di perusahaan tour and travel dan sekarang sedang mengambil cuti selama Ramadan," jelas Karim.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR