Nationalgeographic.co.id—Viking dinarasikan dalam film dan acara TV, novel, dan komik yang tak terhitung jumlahnya. Umumnya, Viking distereotipkan sebagai perampok biadab dan kejam yang kebrutalan dan sifatnya yang tidak berbelas kasih terkenal di seluruh Benua Lama.
Hasil penggalian lebih banyak bukti arkeologis tentang perampok legendaris Utara, tampaknya mereka tidak seperti yang digambarkan orang lain selama berabad-abad.
Meskipun kekerasan Viking selalu muncul dalam imaji kebanyakan orang, budaya mereka sebenarnya jauh lebih kompleks. Mereka meninggalkan jejak mendalam pada budaya dan wilayah lain di seluruh Eropa, khususnya di Inggris.
Viking dikenal sebagai salah satu pedagang terbaik pada zamannya. Fakta itu mencakup dampak budaya dan teknologi karena mereka sering menetap dalam damai dan hidup dalam harmoni. Bukan hanya itu, Viking adalah kata-kata Norse yang tak terhitung banyaknya yang tertanam dalam bahasa Inggris modern dan, tentu saja, tempat Kota Dublin didirikan.
Namun, dampak budaya mereka terus berkembang di zaman modern. Tahukah Anda? ternyata Bluetooth merupakan julukan raja Viking yang memimpin Denmark dan Norwegia pada 958 hingga 985. Nama raja tersebut adalah Harald 'Blåtand' Gormsson.
Gormsson dikenal dengan gigi matinya yang memiliki warna abu-abu atau biru tua. Oleh sebab itulah, dia mendapat julukan dan jika secara harfiah diartikan dari bahasa Denmark sendiri artinya adalah Bluetooh—Si Gigi Biru.
Nama panggilannya, Bluetooth, pertama kali muncul di Roskilde Chronicle pada 1140. Panggilan itu muncul karena raja memiliki gigi yang tampak berwarna biru, menurut sebuah cerita.
Di lain sisi, situs web Ericsson mengatakan kemungkinan lain: Raja Harald dari Denmark sangat menyukai makan blueberry sehingga dia memiliki gigi biru. Tidak kalah menarik dengan teori lainnya yang menyatakan bahwa ia sering mengenakan pakaian biru, menandakan status kerajaannya.
Pertukaran data nirkabel telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari selama bertahun-tahun. Pencapaian itu berkat teknologi Bluetooth yang dikembangkan oleh peneliti Ericsson pada 1994.
Menurut situs web Ericsson, para peneliti yang menciptakan teknologi itu sejatinya menganggap nama itu akan bersifat sementara. Mereka akan menggunakannya sebagai nama kode saat mengerjakan proyek teknologi nirkabel itu.
Baca Juga: Menyingkap Jejak Viking di Kepulauan Terpencil Samudra Atlantik
Ketika pada tahap penyelesaian proyek dan pemilihan nama permanen, beberapa nama diusulkan seperti RadioWire dan PAN (Personal Area Networking). Akan tetapi, mereka akhirnya memilih Bluetooth.
Raja Harald yang berjulukan 'Si Gigi Biru' itu memang sangat luar biasa dalam menghubungkan orang, seperti halnya teknologi dalam menghubungkan perangkat.
Tahun kematian Raja Harald “Bluetooth” Blåtand juga masih menjadi bahan diskusi. Orang-orang ada yang meyakini bahwa Raja Viking yang terkenal itu meninggal sekitar tahun 986. Dia diduga dibunuh oleh putranya Sweyn. Kendati tahun kelahiran Raja Harald masih menjadi bahan diskusi, sebagian besar sejarawan setuju bahwa dia lahir sekitar 910.
Harald Bluetooth adalah putra bungsu Gorm yang Tua dan Ratu Thyra. Dia dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab atas penyatuan faksi-faksi Denmark dengan faksi-faksi Swedia selatan dan Norwegia.
Baca Juga: Badai Matahari Ungkap Bangsa Viking Sudah di Amerika Sebelum Columbus
Memberi nama pada teknologi bukanlah tugas yang mudah. Ketika perusahaan telekomunikasi Swedia Ericsson memutuskan menggunakan nama Bluetooth, persoalan berikutnya adalah logo teknologi mereka.
Logo Bluetooth memiliki pesona yang sama dengan cerita asal-usulnya. Jika kita mengira itu hanya mewakili huruf "B" yang ditulis dengan bentuk aksara yang aneh, kita keliru. Faktanya, logo yang kini terkenal itu terdiri atas aksara Nordik berinisial Harald Blåtand: "H" dan "B."
Terlepas dari signifikansi historisnya, hari ini Bluetooth telah menjadi jenama yang digunakan banyak orang—bahkan ada di setiap genggaman.
Baca Juga: Sejarah Ringkas Gelombang Besar Penyebaran Kucing ke Penjuru Dunia
Source | : | Histecho.com |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR