SOBAT Dewel Sinarbulung (46) miris ketika melihat masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki atau memakai mandau buatan Kalimantan Selatan. Berbekal keahlian mengukir kayu dan tanduk rusa, menganyam rotan, serta menempa besi yang diwarisi dari nenek moyangnya, Sobat pun mengabdikan hidupnya dengan menekuni pekerjaan membuat mandau.
"Mandau adalah pusaka suku Dayak yang menjadi jati diri dan ciri khas bahwa seseorang itu adalah suku Dayak,” kata Sobat saat ditemui, Selasa (7/7/2015), di rumahnya di Kompleks G Obos Permai, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Sebagai pusaka, layaknya keris bagi masyarakat suku Jawa, menurut Sobat, mandau harus dibuat dari bahan-bahan berkualitas dan digarap dengan sepenuh hati serta kesabaran.
”Semakin halus dan rumit ukirannya, mandau semakin bagus dan bernilai tinggi. Orang akan bangga dan senang menyimpan barang yang bagus dan yang tidak dikerjakan dengan setengah-setengah,” ujarnya.
Kesungguhan dan kecintaannya pada mandau ditunjukkan Sobat dengan berhati-hati dan tidak buru-buru dalam menyelesaikan pembuatan sebuah mandau. Untuk menyelesaikan sebuah mandau berukuran 58 sentimeter, misalnya, Sobat membutuhkan waktu minimal satu bulan. Adapun untuk merampungkan mandau dengan ukuran mencapai 1 meter, Sobat butuh waktu hingga tiga bulan.
Mandau terdiri atas tiga bagian, yaitu mata mandau yang dibuat dari baja, pegangan mandau atau biasa disebut ”pulang” yang dibuat dari tanduk rusa, serta sarung mandau atau disebut ”kumpang” yang dibuat dari kayu muhur serta berhias anyaman rotan dan kulit binatang. ”Proses paling lama adalah membuat kumpang karena bisa sampai 20 hari untuk mengukir kayu dan menganyam rotan,” ujar Sobat.
Selain itu, proses mengukir tanduk rusa untuk bisa dijadikan ”pulang” atau gagang mandau juga memakan waktu hingga seminggu. Adapun untuk proses menempa baja yang didapat dari sisa-sisa mesin truk atau per mobil, Sobat dibantu tukang pandai besi rekannya yang biasa dipanggil Abah Arjun.
”Untuk menempa besi perlu waktu sekitar satu hari. Saya tinggal melakukanfinishing mata mandaunya, misalnya menghaluskan dan mempertajam,” ujarnya.
Motif ukiran
Sobat menyebutkan, setidaknya ada tiga jenis motif ukiran dari mandau suku Dayak di Kalimantan Tengah, yaitu motif Tambun atau sosok naga yang disakralkan masyarakat suku Dayak, motif burung Tingang, dan Muang atau ulat. ”Tambun adalah sosok penjaga manusia. Demikian juga dengan mandau, manusia bisa menjaga dirinya sendiri dari ancaman bahaya,” kata Sobat.
Motif burung Tingang, Sobat melanjutkan, merupakan simbol kepemimpinan, sedangkan motif Muang atau ulat adalah lambang kesaktian.
”Sesuai nasihat dan pesan para leluhur, setidaknya setiap keluarga suku Dayak harus memiliki sebuah mandau yang disimpan di rumah. Mandau disimpan di dalam kamar tidur dan tidak boleh diletakkan di ruang tamu,” katanya.
Maksud dari menyimpan mandau di dalam kamar tidur, menurut Sobat, untuk pertahanan diri jika ada pencuri atau penjahat yang masuk ke dalam rumah. Jika mandau diletakkan di ruang tamu, yang terjadi bisa saja justru pencurilah yang menguasai mandau tersebut.
Untuk memberi kesan hidup, mandau pun diberi hiasan berupa rambut yang berasal dari ekor kerbau, kuda, atau domba.
Dahulu kala, mandau dipakai sebagai senjata untuk berperang melawan musuh dan mengayau atau memenggal kepala musuh. Saat ini, mandau disimpan sebagai pusaka dan dipakai untuk sejumlah upacara adat, terlebih dipakai ketua adat serta mantir adat.
Upacara adat tersebut antara lain upacara tiwah atau memindahkan tulang kerangka leluhur ke dalam suatu rumah atau tempat yang disebut sandung, upacara menyambut tamu atau potong pantan, upacara pernikahan, dan juga dipakai sebagai aksesori dalam tari mandau.
”Saat ini minat orang terhadap mandau semakin sedikit. Penurunan minat itu diduga karena tergerus modernitas. Orang muda di sini pun belum tentu bisa memakai atau mengeluarkan mandau dari kumpangnya secara benar,” kata pemilik industri rumah tangga bernama Kahias Atei yang berarti hati yang ulet itu.
Karena butuh keuletan dan kesabaran itulah, kata Sobat, minat orang untuk membuat mandau semakin sedikit.
”Saya bersedia mengajarkan dan mewariskan cara membuat mandau, tetapi sulit menemukan orang yang mau,” ucap Sobat.
Sobat mendapatkan keahlian membuat mandau dari sang ayah, almarhum Dewel Sinarbulung. Keahlian itu diwariskan turun-temurun dari nenek moyangnya yang merupakan seorang datuk di Desa Tumbang Tambirah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sang datuk bernama Singa Anggen.
Sobat merupakan keturunan generasi keenam dari Datuk Singa Anggen.
Meskipun Sobat tidak memasarkan mandau buatannya di toko-toko suvenir sekitar Palangkaraya, orang-orang yang berminat memiliki mandau buatan Sobat bisa datang ke rumahnya. Pembeli mengetahui keahlian Sobat dari perbincangan satu sama lain. Selain dipesan pejabat dan kepala dinas setempat, mandau buatan Sobat juga diminati pembeli dari Makassar, Yogyakarta, dan Banjarmasin.
Di tempat tinggal yang dijadikan sebagai bengkel pembuatan mandau inilah Sobat mencoba melestarikan sebagian budaya Kalimantan Tengah.
Setidaknya sejak 2005 Sobat mulai fokus membuat mandau. Sebelumnya, Sobat juga menjadi perajin kayu biasa yang membuat tombak, lesung, dan keluir atau alat masak dari kayu.
”Ada panggilan hati untuk terus membuat mandau agar tetap lestari,” kata Sobat yang telah membuat sekitar 500 mandau.
Sebuah mandau karya Sobat harganya berkisar Rp 3 juta-Rp 5 juta untuk ukuran 58 sentimeter. Adapun mandau ukuran 1 meter harganya bisa mencapai Rp 25 juta.
Hasil penjualan terutama dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyekolahkan anak semata wayangnya, Krendison (21).
”Saya tidak mengejar uang. Kalau cuma mengejar uang atau keuntungan, hasilnya tidak baik,” kata Sobat yang juga memelihara sejumlah hewan peliharaan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR