Hari masih pagi, persis pukul 07.00, tengah Juni lalu, minibus kami menembus kemacetan Hanoi, ibu kota Vietnam. Pemandu perjalanan, Dinh Tien Trung, meminta maaf harus memaksa kami bangun pagi demi perjalanan hari ini. "Beginilah lalu lintas Hanoi, sedikit lagi kita terlambat, kemacetan akan menjadi," tutur Trung.
Sontak saja, lima orang Indonesia di dalam minibus itu tertawa. "Kalau ukurannya Jakarta, ini belum dibilang macet, Trung. Di Jakarta, yang namanya macet itu kalau mobil yang kita tumpangi berhenti sama sekali," tutur Irwan Firdaus, Petugas Advokasi Media Oxfam di Indonesia yang turut dalam perjalanan menuju Provinsi Nam Dihn itu.
Tentu saja, Vietnam sama sekali berbeda dengan Indonesia. Vietnam adalah negara dengan bentuk wilayah serupa huruf "S", membentang di sepanjang pesisir timur Semenanjung Indochina. Di antara wilayah paling utara dan wilayah paling selatan di Vietnam terentang jarak 1.650 kilometer. Namun, huruf "S" itu sungguh kurus, dengan lebar rata-rata antara wilayah paling barat dan wilayah paling timur sepanjang 50 kilometer persegi saja.
Bagian selatan negara itu, berikut Delta Sungai Mekong yang subur dan menjadi lumbung beras Indonesia itu, beriklim tropis. Sementara bagian utara Vietnam, ibu kota Hanoi berikut Delta Sungai Merah di Provinsi Nam Dinh yang akan kami kunjungi, terletak di garis batas antara iklim tropis dan subtropis (di kawasan sekitar 23 derajat Lintang Utara) dikenal memiliki iklim subtropis yang lembab. Kunjungan kami ke Hanoi yang subtropis itu bertepatan dengan musim panen buah plum dan ceri, buah yang sulit ditanam di Saigon yang beriklim tropis.!break!
Keseharian warga
Percakapan riuh dan candaan Trung membuat dua jam perjalanan dari Hanoi tak terasakan. Kami saling bertukar cerita tentang Vietnam dan Indonesia. Vietnam seperti Indonesia, tengah bersalin dari negara agraris menjadi negara industri, dengan urbanisasi yang tinggi. Bedanya, infrastruktur dasar Vietnam sungguh memukau, juga kebersihan dan kerapian warganya.
Tapi, kami sedang meninggalkan kepenatan kota gaduh seperti Hanoi. Selepas melaporkan identitas anggota rombongan ke Kantor Komite Rakyat Provinsi Nam Dinh, minibus kami melanjutkan perjalanan ke ladang garam di Komuni (satuan permukiman setingkat kecamatan) Thien Nhan, (satuan permukiman setingkat kabupaten) Distrik Giao Thuy. Hamparan pasir yang menghitam karena basah menghampar luas, terik menyengat di ladang garam yang dibuka para petaninya sejak 1964 itu. Sejauh mata memandang, terlihat perempuan menyigi pasir dengan papan-papan kayu, mengolah air laut yang nyaris tawar oleh limpahan air tawar Delta Sungai Merah.
Thim, seorang istri nelayan, setiap hari berjudi dengan cuaca. Setiap pagi ia mengolah air laut nyaris tawar taburan pasir, memacu penguapan untuk memperoleh air laut berkadar garam tinggi. Air laut olahan lantas dialirkan ke sumur penampung, memberi kesempatan Thim membersihkan hamparan ladangnya dari pasir hitam. Dari sumur penampungan, air laut olahan itu ditimba dan dituangkan lagi ke ladang garam. Dalam cuaca terik sore harinya, Thim bisa memanen garam senilai Rp 60.000-Rp 70.000, menambah pendapatan hasil melaut suaminya.
”Namun cuaca sulit ditebak. Hujan bisa tiba-tiba datang, seluruh air laut yang sudah diolah harus dikembalikan ke dalam sumur penampung. Jika badai, sumur penampung akan terembesi air hujan, air laut olahan bakal semakin tawar. Orangtua saya membuka ladang garam ini sejak tahun 1964. Namun, sejak sepuluh tahun terakhir pendapatan kami semakin tidak menentu,” tutur Thim.
Le Thanh Hai, Manajer Komunikasi sekaligus Koordinator Manajemen Bencana Center for Marinelife Community Development (MCD) bercerita tentang ekstremnya cuaca Nam Dinh. ”Normalnya, di Provinsi Nam Dinh terjadi enam badai per tahun. Pada 2013, kami mengalami 17 badai yang merusak panenan tambak kerang para nelayan, sawah, dan ladang garam,” kata Hai.
Cerita serupa kami temukan di Komuni Giao Lac, tempat suami-istri Trinh Thien dan Nguyen Phuong, bercocok tanam di sawah asin. Sejak puluhan tahun silam, air tanah mereka telah terkena intrusi air laut dan menjadi asin. Puluhan tahun mereka menampung air hujan sebagai sumber air minum, hingga jaringan pipa air pemerintah mencapai Komuni Giao Lac pada 2014. Air bersih bisa mereka dapatkan. Namun, jaringan pipa air bersih itu tidak memecahkan masalah air permukaan laut yang semakin jauh masuk ke perairan darat. Kian lama, semakin luas sawah yang rusak karena tanah menjadi asin.
Merancang nasib
Jika Delta Sungai Mekong membangun Vietnam menjadi lumbung beras negara Afrika dan Indonesia, Delta Sungai Merah kaya oleh tambak-tambak kerang yang menghampar di sepanjang pesisir berlumpur yang landai. Dan Komuni Giau Xuan adalah contoh kemakmuran para petambak kerang yang mengekspor panenan ke Tiongkok. Sepanjang kami berjalan kaki di Giao Xuan, hanya terlihat rumah-rumah beton bertingkat, dengan arsitektur rumah langsing menjulang.
Di perempatan jalannya, kami tertegun melihat sebuah pengeras suara menyiarkan radio pemerintah keras-keras. Entah apa isinya, siaran itu mengingatkan pada masa Orde Baru, ketika semua radio dan televisi swasta diwajibkan me-relay berita Radio Republik Indonesia ataupun Televisi Republik Indonesia.
Seluruh lelah perjalanan siang hari serasa impas begitu mencecap suguhan kopi di Ecolife Cafe. Cita rasa kopi olahan Vietnam disuguhkan dengan susu kental manis khas, memang kelas wahid. Apalagi kami menyeduhnya di bawah rerindangan pepohonan kafe yang juga menjadi ”markas” bagi MCD dan Ecosea Travel yang menggarap adaptasi perubahan iklim lewat industri pariwisata. Pariwisata diharapkan menjadi sumber penghidupan lain warga, di tengah kejutan cuaca dan kerusakan tanah karena air laut.
”Giao Xuan dipilih karena para warganya yang relatif berada, dan memiliki rumah yang layak menjadi guest house bagi para wisatawan. Peluang industri pariwisata harus digarap sendiri oleh para warga. MCD menyiapkan warga, dan Ecosea membangun jaringan promosi, juga memasarkan paket wisata yang memberi kesempatan wisatawan melihat kehidupan sehari-hari dan tinggal di rumah para warga di Nam Dinh. Ini upaya membuat Nam Dinh masuk dalam peta wisata Vietnam,” kata Hai.
Malamnya, kami membuktikan dahsyatnya kelezatan kerang dari tambak pesisir Nam Dinh. ”Di Giao Xuan, kerang tak ada harganya, semuanya diekspor ke Tiongkok. Namun, hambatan impor Tiongkok semakin menjadi. Datangnya wisatawan ke pesisir Nam Dinh menjanjikan masa depan,” bisik Trung, sang pemandu perjalanan.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR