Bioteknologi atau pemanfaatan sumber daya hayati melalui perekayasaan menjadi primadona dunia dalam upaya meningkatkan ekonomi, salah satunya di bidang kesehatan. Saat ini, produk bioteknologi kesehatan menyasar penanganan lebih dari 500 jenis penyakit. Namun, pengembangan di Indonesia tersendat, salah satunya karena minimnya dukungan kebijakan.
"Tren saat ini, pengembangan obat-obat diupayakan dengan proses bioteknologi karena akan memiliki faktor efisiensi lebih tinggi dibanding sintesis kimia," tutur Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio, Rabu (5/8), seusai diskusi dalam rangkaian Novartis Biotechnology Leadership Camp (BioCamp) di Jakarta.
Untuk membuat obat lewat sintesis kimia, proses produksi bahan baku dasar harus terus berulang. Pada bioteknologi, produsen cukup memelihara induk bakteri unggul yang sewaktu-waktu bisa diperbanyak sesuai kebutuhan melalui fermentasi.
Dalam "The Bioeconomy to 2030: Designing a Policy Agenda" yang disusun Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2009, kemungkinan 80 persen investasi riset bioteknologi di masa depan tertanam ke penerapan kesehatan. Di sektor industri, produk biokimia (kecuali farmasi) diperkirakan meningkat dari 1,8 persen terhadap total produk kimia pada 2005 menjadi 12 persen hingga 20 persen pada 2015.
Selain bioteknologi, sektor teknologi unggulan global untuk peningkatan ekonomi adalah nanoteknologi serta teknologi informasi. Jika sektor-sektor itu dipadukan, kekuatan unggul diperoleh. Amin mencontohkan, produk bioteknologi yang dipadukan nanoteknologi menghasilkan produk unggul dalam ukuran nano sehingga efektivitas makin tinggi. Produk yang sudah beredar antara lain vaksin dan produk kosmetik berukuran nano.
!break!Juara BioCamp 2015 Laurentya Olga, mahasiswa magister pada Department of Medicine University of Cambridge (Inggris), mengatakan, bioteknologi juga berpotensi mengatasi masalah kesehatan di Indonesia. Republik ini menghadapi beban ganda, yakni jumlah penyakit infeksi dan non-infeksi yang sama-sama tinggi. "Padahal, di negara lain, penyakit infeksi terus menurun, menyisakan penyakit non-infeksi semacam diabetes dan hipertensi yang tetap tinggi," katanya.
Olga menuturkan, di bidang penyakit infeksi, bioteknologi bermanfaat untuk mengembangkan vaksin baru atau antibiotik baru guna mengatasi resistensi antibiotik. Untuk penyakit non-infeksi, teknologi tadi bisa memunculkan metode perawatan baru, misalnya terapi gen.
Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tarwadi menambahkan, bioteknologi bidang kesehatan penting untuk kemandirian Indonesia dalam memproduksi obat. "Saat ini, lebih dari 80 persen bahan baku obat kita impor," ucapnya.
Faktanya, riset bioteknologi kesehatan butuh waktu sekitar 10-15 tahun hingga produksi massal. Kondisi semakin sulit dengan postur belanja penelitian dan pengembangan nasional yang hanya 0,09 persen terhadap produk domestik bruto.
Indonesia sebenarnya melimpah dengan ahli. BPPT juga memiliki potensi berupa bioreaktor berkapasitas 2.500 liter yang bisa dimanfaatkan rintisan produksi vaksin. Kondisi saat ini, kata Tarwadi, menunjukkan kebijakan mendukung riset masih minim di Indonesia.
Tarwadi mencontohkan, bioteknologi berpotensi menghasilkan energi baru dan terbarukan melalui fermentasi menggunakan mikroba unggul. Namun, pengembangannya akan terus tersendat jika pemerintah tetap mengandalkan pemenuhan bahan bakar fosil, termasuk dengan subsidi premium.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR