Dokter Lo Siaw Ging berjalan perlahan menuju ruang praktiknya di poliklinik Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Kaki yang menopang tubuhnya yang tak lagi muda itu melangkah pelan. Tongkat penyangga digenggamnya erat agar tetap berdiri menuju ruang prakteknya.
Dokter Lo bukanlah sosok yang asing bagi warga Solo berkat pengabdiannya selama bertahun-tahun. Walau ia sudah berusia 81 tahun, tapi ia merasa pengabdiannya menjadi dokter belum usai.
Lo Siaw Ging kecil lahir pada 16 Agustus 1934 di Kota Magelang, Jawa Tengah. Ayahnya Lo Bian Tjiang, seorang pengusaha tembakau, dan ibunya Liem Hwat Nio, menjadi sosok utama bagi Lo Siaw Ging memilih untuk menjadi dokter.
Sikap hidup bebas memilih dan bertanggung jawab yang dikenalkan sang ayah, membuat Lo semakin mantap untuk menjadi dokter, walau saat itu ia dibujuk untuk menjadi pedagang, profesi yang ditekuni keluarga besarnya.
"Ayah saya bilang, kalau memang jadi dokter ya ga usah mikir dagang, kalau dagang ga usah mikir dokter," kata dokter Lo saat ditemui di tempat praktiknya di Rumah sakit Kasih Ibu, pada hari Jumat (14/8) .
Apa yang diungkapkan ayahandanya tersebut membuat dokter Lo terdorong untuk menolong orang sakit dan tidak mengedepankan untung rugi. Setelah itu, Lo Siaw Ging serius untuk menekuni studi kedokteran, hingga pada tahun 1963 resmi menyandang dokter dari Universitas Airlangga.
Dalam perjalanan karirnya menjadi dokter, ia terinspirasi mentornya, Dr Oen Boen Ing. Dr Oen tersebut yang akhirnya mendirikan rumah sakit bernama Rumah Sakit Dr Oen, menjadi sosok penting bagi Lo untuk benar benar mengabdi kepada pasien miskin. Sikap dermawan dan penuh jiwa sosial yang ditularkan oleh Dr Oen, membuat Lo lebih meyakini bahwa kesehatan adalah milik semua orang, termasuk orang miskin.
Ia juga pernah "marah" kepada pasiennya yang memaksa untuk membayar, meskipun saat itu dokter Lo mengetahui bahwa si pasien tidak punya uang cukup untuk membeli obat. "Apa kamu sudah kaya dan bisa beli beras, kok mau bayar," ujarnya.
Tidak hanya itu, suami dari Maria Gan May Kwee tersebut juga tidak segan untuk memarahi orang tua pasien karena terlalu lama memeriksakan anak mereka yang sakit. "Saya pernah dimarahi, pas itu anak saya panas tinggi dan setelah tiga hari tidak turun turun, saya bawa ke dokter Lo. Sampai sana dimarahi, kok baru sekarang," kata Yunita, warga Brengosan Solo, yang ditemui di Rumah Sakit Kasih Ibu (14/8.
Kisah kedermawanan dokter Lo asal Solo ini memang sudah menjadi rahasia umum. Tidak hanya warga Solo, namun juga warga dari sekitar Solo, seperti Klaten, Sukoharjo, Boyolali dan Karanganyar.
Tidak sedikit warga yang tidak mampu datang berobat ke tempat prakteknya. Salah satunya Yayan, pasien asal Boyolali, mengaku sempat ditanya apakah punya uang untuk membayar obat atau tidak saat mengantar puterinya berobat.
"Tadi habis anak saya diperiksa, ditanya punya uang tidak buat beli obat, lalu ya saya jujur ndak bawa uang banyak, lalu pak dokter Lo bilang ya sudah ini ditebus, nanti saya yang bayar," kata Yanuar.
!break!Dalam sebulan, Lo harus menanggung kurang lebih 7-8 juta rupiah. Saat disinggung bagaiamana dirinya harus menutup uang sebesar itu dalam sebulan, Lo enggan menjelaskan secara detail. Dirinya hanya menceritakan bahwa ada seorang donatur yang pernah mendengar bagaimana cara saya bekerja melayani pasien, dan akhirnya tertarik membantu.
"Ada donatur yang berniat membantu saya, karena dengar saya kerjanya bantu pasien yang ndak mampu,"katanya singkat. Biasanya, dokter Lo memberikan tanda khusus diresepnya dan meminta pasien untuk menebus obat ke apotik rujukannya. Setelah itu, pada akhir bulan, tagihan akan diberikan ke dokter Lo.
Selain membuka praktek di Rumah Sakit Kasih Ibu pada pukul 10.00 wib - 12.00 wib setiap hari, dokter kaum papa tersebut juga masih melayani pasien di rumahnya di Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Solo. Pasien dari warga sekitar pun tidak kalah banyak.
Keberadaan dr Lo seakan menjadi malaikat penolong bagi pasien yang kurang mampu untuk berobat. Namun, dokter Lo mengaku tidak mampu untuk mengetahui apakah memang benar pasiennya adalah miskin atau tidak.
"Satu prinsip saya, kalau mau bayar ya terserah dan kalau ndak mampu ya bilang saja nanti dibantu sekalian obatnya. Saya menghargai kejujuran, ada juga yang pura pura enggak punya uang dan ingin gratisan terus berobat ke saya, ya itu urusan dia sajalah,"kata pria yang gemar membaca buku tentang kisah detektif tersebut.
Salah satu warga sempat bercerita bahwa saat kerusuhan 98 di Solo, banyak warga keturunan Tionghoa mengungsi dan menutup usaha mereka. Suasana mencekam dan mengancam warga keturunan Tiongha tersebut tidak menyurutkan Lo Siae Ging untuk melayani pasien. Dokter lo justru memaksa untuk buka praktek meski sudah diingatkan warga untuk tidak buka praktek.
"Dokter malah sempat marah, katanya kasihan kalau ada pasien yang datang berobat. kok tutup," kata Purwadi, warga Jagalan, Solo. Saat itu warga justru berjaga didepan rumah dokter Lo.
!break!Biar tak pikun
Walau usianya sudah tergolong senja, namun dokter Lo tampak masih bersemangat melayani pasien-pasiennya. Saat disinggung resep hidup untuk terus mengabdi ia mengatakan itu karena berkat Tuhan.
"Ya suatu karunia Tuhan Allah, di usia seperti saya ini masih diberi kesehatan. Dan selain itu kalau ndak bekerja, pasti pikun. Jadi ada alasan egonya, biar ndak pikun ya saya bekerja," katanya.
Hanya hidup berdua dengan sang istri diakui Lo membuatnya lebih bisa fokus bekerja. "Saya dan isteri kan enggak punya anak, jadi itu ya membantu agar fokus,"katanya.
Meski kedermawanannya sudah dikenal, dokter Lo menampik dirinya adalah tokoh inspiratif bagi Bangsa Indonesia yang akan berumur 70 tahun.
"Tokoh nasional apa, saya bukan siapa siapa, jangan dibesar besarkan. Saya hanya bantu warga yang sakit," katanya.
Sementara itu, pihak Rumah Sakit Kasih Ibu, menyatakan akan selalu mendukung pelayanan yang dilakukan dokter Lo. Dokter Lo yang juga sempat menjadi direktur di rumah sakit tersebut menjadi inspirasi bagi para dokter muda di Kota Solo. "
Sosok yang sangat inspiratif bagi dokter lainnya, jadi tidak mengedepankan materi saja saat melayani pasien. Pihak Rumah sakit mendukung apa yang dilakukan dokter Lo,"kata dokter Yulius Widiarto, Wakil Direktur Umum Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR